RMOL. Lembaga penegak hukum sepakat untuk melindungi whistle blower atau pelapor tindak pidana. Selama ini nasib ‘peniup peluit’ itu mengenaskan. Banyak yang berakhir di bui.
Bagaimana nasib para whistle blower yang turut di penÂjara? Berikut liputannya.
Agus Condro tak kaget ketika majelis hakim Pengadilan Tipikor memvonis bersalah dalam kasus cek pelawat. Hukuman 1 tahun 3 tahun yang dijatuhkan kepadanya dijalani dengan legowo.
“Saya pribadi lebih baik dihuÂkum. Kenapa? Kalau tidak dihuÂkum saya merasa tersiksa. SahaÂbat saya yang lain dihukum kareÂna sama-sama terima. Jadi perlu solider untuk sama-sama hidup daÂlam tahanan,†ujar kepada
RakÂyat Merdeka di Lapas Cipinang.
Agus adalah politisi PDIP yang membongkar kasus suap dalam pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia. Suap diberikan daÂlam bentuk
traveler cheque atau cek pelawat. Sebagian besar anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 masuk penjara karena kasus ini.
Sejak awal, Agus—yang—tuÂrut menerima cek pelawat sebesar Rp 500 juta—tak berharap bakal mendapat vonis bebas. Begitu pengadilan menyatakan bersalah, dia menerimanya. Ia melewatkan kesempatan upaya banding maupun kasasi. “Saya terima karena saya solider sama rekan-rekan saya.â€
Sebagai
whistle blower, politisi asal Batang, Jawa Tengah ini mendapat vonis paling ringan. Tapi, dia sedikit kecewa karena jumlah pengurangan hukuman yang diterimanya tak banyak.
“Awalnya, saya kira vonisnya 2/3 dari tuntutan jaksa, ya sekitar satu tahun. Saya sebagai pelapor tetap saja dihukum dan selisihnya cuma dikorting cuma tiga bulan,†ucapnya. Beberapa terdakwa kaÂsus cek pelawat ada yang divonis 1 tahun 6 bulan. Yang jelas Agus kini lebih teÂnang. Penjara, meÂnurut dia, merupakan tempat menebus kesalahan.
Supaya lebih tenang menjalani masa hukuman, Agus meminta dipindahkan ke lembaga peÂmaÂsyaÂrakatan (lapas) yang dekat dengan kampung halamannya di Batang. Sehingga keluarga lebih mudah menjenguk. Pilihannya ke Lapas Kendal atau Lapas PeÂkalongan. Permintaan itu belum dikabulkan.
Sejak Agus ditahan Komisi PemÂberantasan Korupsi (KPK) dan dipenjara, keluarganya kehiÂlangan pencari nafkah. Tapi, EliaÂna Nuraini, istri Agus, meÂmasÂtikan kebutuhan keluarga masih bisa terpenuhi.
“
Alhamdulillah ada uang penÂsiun, ada usaha daerah di Batang. Saya juga buka futsal dan warung makan. Ya dikit-dikit
AlÂhamÂduÂlillah berkah,†kata ibu tiga anak ini. Sebagai bekas anggota DPR, Agus pun berhak dapat pensiun. Besarnya Rp 2 juta per bulan.
Menurue Eliana, anak-anak legowo Agus memÂperÂtangÂgungÂjaÂwabkan perbuatannya yang pernah dilakukannya. Kata dia, keÂluarga sudah memprediksi Agus bakal di penjara. Jauh-jauh hari, keluarga sudah memÂpersiapkan mental menghadapi kenyataan itu.
“Kami sudah menghitung keÂmungkinan-kemungkinan yang terjadi kalau ini lapor dipenjara, diÂhujat, dijauhi teman-teman. KeÂmungkinan-kemungkinan kalau sistem pemerintahan tidak terÂbuka, di-Munir-kan, itu bisa saja seperti itu karena ini menyangkut nama-nama gede,†ucapnya.
Melihat kondisi tersebut, Eliana pun sudah menjelaskan kepada ketiga buah hatinya akan kondisi yang bakal dihadapi ayahnya akhir-akhir ini. Apalagi ia sadar tak mungkin meÂnyemÂbunyikan kondisi Agus kepada anak-anak, khususnya si sulung yang kini duduk di bangku kuliah.
“Alhamdulillah sudah diÂperÂsiapÂkan, kalau yang sulung melek berita. Saya koordinasi dan koÂmuÂÂnikasi dan di-
protect agar tidak
down. Saya cerita semuanya ke anak-anak. Saya bilang, bapak nanti dipenjara,†ungkapnya.
Sejak pemeriksaan hingga persidangan, Elia mengaku tak mengalami teror sedikit pun, baik fisik maupun psikis dari keluarga maupun orang-orang di sekitarÂnya. “Kalau dukungan luar biasa banyak, tapi kalau omong jelek di belakang tidak tahu ya,†ujarnya.
Kini, tanpa Agus selama 15 bulan, Elia berujar, “Anai dalam tanah bisa makan,
Insya Allah kami bisa makan.â€
Bukti bahwa keluarga legowo atas proses hukum, kata Eliana, dapat dilihat dari kesediaan meÂngembalikan uang Rp 500 juta yang diterima Agus. Kini, menuÂrut dia, keluarga sudah lega lantaran tak lagi memiliki utang kepada negara.
“Kami memang sudah niat untuk mengembalikan. Sayang kita tidak punya Rp 500 juta. PuÂnyanya
cash (tunai) Rp 100 juta, sama aset yang ada. Kalau diÂtaksir Rp 500 juta juga. Sekarang ibarat punya utang sudah lunas, sudah
plong. Sudah jalanin hÂuÂkuÂman. Dosa-dosanya sudah diteÂbus, sudah mencoba mengemÂbalikan,†tutupnya.
Perlindungan Pelapor Masih Sepotong-potong
Pengacara Agus Condro, Firman Wijaya, memberi apreÂsiasi positif pada institusi peÂnegak hukum yang menyeÂpaÂkati perlindungan bagi whistle blower. “Itu memberikan atensi pada orang-orang seperti Agus Condro.â€
Satuan Tugas (Satgas) PemÂbeÂrantasan Mafia Hukum, LemÂbaga Perlindungan Saksi dan KorÂban (LPSK), Kementerian HuÂkum dan Hak Asasi ManuÂsia, Kejaksaan Agung, Polri, dan Komisi Pemberantasan KoÂrupsi (KPK), 19 Juli lalu meÂnanÂdatangani nota kesepaÂhaÂman (MoU) mengenai
whistle blower dan
justice collaborator. Mereka sepakat akan ada peraÂturan lebih spesifik yang memÂbedakan perlakuan hukum unÂtuk keduanya.
Firman menilai langkah lembaga-lembaga itu memberi angin segar bagi whistle blower maupun justice collaborator. “Karena selama ini regulasi dan implementasinya masih meÂnimÂbulkan apatisme dan rasa enggan masyarakat yang akan mengungkap atau memberi inÂformasi sebuah perkara, terÂmaÂsuk yang
extraordinary crime.†Ia lalu mencontohkan klienÂnya yang divonis 1 tahun 3 buÂlan dan denda Rp 50 juta. JumÂlah hukuman itu menunjukkan Undang-undang Perlindungan Saksi yang mengatur whistle-blower tidak komprehensif.
“Seharusnya relasi antara peraturan dan implementasi itu terintegrasi dalam ketentuan perundangan formal dan material,†kata dia.
Tak hanya itu, ia menilai inÂtegÂrasi LPSK dengan lembaga peradilan juga tidak jelas. DaÂlam kasus Agus, LPSK hanya meÂlaksanakan fungsi pengÂhargaan pada whistle blower di luar sistem peradilan. Di peÂngadilan, hukuman Agus tak jauh berbeda dengan terdakwa lainnya.
[rm]