RMOL. Rekanan Departemen Sosial dalam proyek pengadaan mesin jahit tahun 2004-2006, Musfar Aziz divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, kemarin. Musfar juga diwajibkan mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 13,2 miliar.
Ketukan palu Ketua Majelis Hakim Albertina Ho di PengaÂdiÂlan Tipikor membuat bekas DiÂrekÂtur Utama PT Ladang Sutra InÂdonesia (PT Lasindo) itu meÂneteskan air mata. Soalnya, AlÂberÂtina yang juga hakim PengaÂdilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) itu menjatuhkan vonis emÂpat tahun penjara untuk Musfar.
Albertina menyatakan Musfar telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait pengadaan mesin jahit di Departemen Sosial 2004-2006 yang telah merugikan negara sebesar Rp 13,2 miliar. HuÂkuman itu lebih ringan dari tunÂtutan jaksa yang menuntut MusÂfar enam tahun penjara.
“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tinÂdak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,†kata Albertina.
Majelis hakim juga menÂjaÂtuhÂkan hukuman denda sebesar Rp 200 juta subsider 4 bulan kuÂruÂngan kepada bekas bos PT LaÂsinÂdo itu. Menurut Albertina, MusÂÂfar terbukti telah mengÂgeÂlemÂbungkan harga mesin jahit merek JITU model LSD 9990 setelah perusahaannya ditunjuk langsung sebagai rekanan Depsos untuk menyediakan mesin jahit .
Penunjukan langsung terhadap perusahaan yang dipimpin MusÂfar itu diusulkan oleh Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial FaÂkir Miskin, Amrun Daulay yang disetujui Menteri Sosial saat itu, Bachtiar Chamsyah.
Tetapi, majelis hakim tidak percaya terhadap penghitungan jakÂsa penuntut umum (JPU) yang meminta Musfar mengganti uang kerugian negara sebesar Rp 20 miliar lebih. Menurut hakim, uang pengganti yang dituntut jakÂsa KPK itu belum dikurangi deÂngan biaya yang dikeluarkan MusÂfar berupa biaya pelatihan, perjalan dinas, biaya survei, soÂsiaÂlisasi, gaji pegawai dan royalti.
“Maka uang pengganti yang harus dibayarkan terdakwa adaÂlah Rp 13,2 miliar, dengan keÂtenÂtuan apabila terdakwa tidak memÂpunyai harta benda yang menÂcuÂkuÂpi uang tersebut, maka akan diÂganti dengan pidana penjara seÂlaÂma tiga tahun,†ujarnya.
Albertina mengatakan, hal yang memberatkan hukuman terÂdakwa ialah perilku Musfar yang tidak mendukung program peÂmeÂÂrintah dalam hal pembeÂranÂtasan praktik korupsi. Namun, kata AlÂbertina, hal yang meÂriÂnganÂkan huÂÂkuman Musfar adaÂlah keterliÂbatanÂnya dalam memÂbantu proÂgram pemerintah untuk meÂngenÂtasÂkan kemiskinan meÂlalui proÂyek bantuan sosial di DepÂsos saat itu.
Seusai persidangan, Musfar yang mengenakan kemeja batik lengan pendek warna cokelat berÂmotif bunga itu terkesan pasrah menÂdengar vonis empat tahun penÂjara yang keluar dari mulut Ketua Majelis Hakim.
Sambil membasuh keringat di dahi dan membetulkan kacamataÂnya, Musfar berjalan keluar arena persidangan dengan roman panÂdangan yang hampa. Sesekali, ia juga menyeka kedua matanya yang telah dibasahi air mata.
“SuÂlit juga untuk mengajukan banÂding. Kami tidak bisa berbuat apa-apa, memang sudah seperti ini sistemnya,†kata dia.
Menurut Musfar, dirinya bersaÂma tim pengacara masih memÂpuÂnyai tenggat waktu satu mingÂgu unÂtuk menentukan sikap apaÂkah mau banding atau tidak. “PoÂkoknya saat ini belum terpikirkan apapun. Kita lihat saja nanti,†ujarnya.
Sementara itu, kuasa hukum Musfar, Ahmad Syaiful Dinar meÂnilai, putusan itu tidak adil dan tidak sesuai dengan pertimÂbaÂngan meringankan yang diguÂnaÂkan majelis hakim. “Kalau diÂnyaÂtakan telah membantu negara meÂngentaskan kemiskinan, kenapa tetap dihukum, kenapa tidak diÂbebaskan saja,†belanya.
Syaiful juga membandingkan huÂkuman yang dijatuhkan terhaÂdap kliennya dengan bekas MenÂteri Sosial Bachtiar Chamsyah yang hanya dihukum 18 bulan penjara oleh majelis hakim PeÂngadilan Tipikor Jakarta.
“Bekas Mensos hanya dihuÂkum satu tahunan, sementara klien saya yang dinilai sudah membantu negara malah empat tahun,†tegasnya.
Hukumannya Sudah PasAndi W Syahputra, Koordinator GowaVonis empat tahun penjara bagi rekanan Depsos yang terÂbukti korupsi dalam pengadaan mesin jahit tahun 2004-2006, henÂdaknya mampu memberi efek jera. Inspektorat selaku pengawas pun diminta lebih mengefektifkan perannya.
Hal ini disampaikan oleh KoorÂdinator LSM Goverment Watch (Gowa) Andi W SyahÂputÂra, kemarin. Dia meÂnyaÂtaÂkan, putusan empat tahun penÂjara bagi Musfar Azis sudah meÂmenuhi prinsip hukum yang ada. Alasanya, vonis hakim terÂsebut sudah hampir mendekati tuntutan jaksa. “Itu sudah dua per tiga dari tuntutan jaksa. Jadi, saya rasa sudah cukup, suÂdah pas dan bisa menunjukkan kualitas peradilan,†ujarnya.
Pada prinsipnya, putusan haÂkim atas setiap perkara, khuÂsusÂnya kasus korupsi, tandas dia, haÂrus mampu mewakili rasa keÂadilan masyarakat. DeÂngan asumÂÂsi itu, maka tidak akan munÂÂcul lagi kekecewaan mauÂpun bentuk-bentuk perlaÂwaÂnan masyarakat pada aparat peÂneÂgak hukum.
Ia menguraikan, sempat terÂjadinya beda argumen antara jakÂsa dan hakim saat meÂneÂtapÂkan denda uang pengganti menÂjadi hal lumrah dalam perÂsidangan. Yang paling penting, lanjutnya, ada kesepakatan yang diperoleh antara jaksa mauÂpun hakim.
Yang jelas, harapnya, vonis terhadap bekas bos PT Ladang Sutra Indonesia (LSI) yang diÂduga merugikan keuangan neÂgara tersebut menjadi semacam warning bagi jajaran KemÂenÂteÂrian Sosial dan seluruh rekaÂnanÂnya. Setidaknya, hal ini bisa memÂberi efek jera bagi setiap pemegang otoritas proyek.
“Jangan sampai preseden seÂmacam ini terulang lagi. Peran inspektorat setiap kementrian akan menjadi penentu keÂberÂhaÂsilan meminimalisasi peÂnyimÂpangan,†tegasnya.
Kenapa Lebih Berat dari Mensos
Harry Witjaksana, Anggota Komisi III DPRAnggota Komisi III DPR Harry Witjaksana memperÂtaÂnyaÂkan vonis empat tahun penÂjara yang diberikan majelis haÂkim Pengadilan Tipikor terÂhaÂdap bekas Direktur Utama PT Ladang Sutera Indonesia (PT Lasindo), Musfar Azis.
PaÂsalnya, vonis terhadap Musfar lebih berat ketimbang yang diberikan kepada bekas Mensos Bachtiar Chamsyah yang divonis 18 bulan penjara.
“Kok begitu. Atasan vonisÂnya lebih ringan ketimbang baÂwahan. Seharusnya tidak bisa begitu, yang punya peran penÂting itu kan atasannya,†kataÂnya, kemarin.
Menurut Harry, peristiwa deÂmikian pernah dialaminya manakala dia masih berprofesi seÂbagai pengacara. Harry berÂceÂrita, dirinya pernah meÂnaÂngani kasus pengadaan barang dan jasa di suatu instansi peÂmeÂrintahan di Jawa Barat.
“Saya kuasa hukum dari piÂhak suppliernya. Tapi, klien saya waktu itu divonis lebih beÂrat keÂtimbang kepala dinasnya yang menjadi terdakwa pula,†ujarnya.
Karena itu, dirinya bersama Panitia Kerja (Panja) Revisi UnÂdang-Undang Tindak Pidana Korupsi akan berusaha memÂbuat peraturan baru, yakni peÂjabat tinggi yang terbukti korupÂsi atau memperkaya orang lain harus diberikan hukuman lebih berat ketimbang bawahannya.
“Semoga saja itu bisa diwuÂjudkan. Soalnya kerap terjadi vonis untuk bawahan cenderung lebih berat ketimbang atasan,†tandasnya.
Meski bukan mitra kerjanya di Komisi III, politisi Demokrat ini mengingatkan Kemensos haÂrus melakukan pengawasan terÂhadap segala macam kebijakan yang akan dilakukan.
Saat ini, katanya, yang dibuÂtuhkan KeÂmenÂsos hanyalah berÂkomitmen agar tidak terjadi kaÂsus-kasus yang merugikan uang negara lagi. “Kalau komitmen suÂdah dipegang teguh, saya yaÂkin godaan seperti apa pun tidak akan menggoyahkan mereka,†ucapnya.
[rm]