RMOL. Tangan kanan Kholid menggengam erat dot susu. Tidak berapa lama, bayi berumur delapan bulan ini merangkak pelan menghampiri teman sepermainannya. Kholid yang mengenakan baju bersetrip kuning kemudian asyik bermain. Dia seakan tidak menghiraukan orang di sekitarnya.
Itulah gambaran kondisi bayi tenaga kerja wanita (TKW) yang hamil di luar nikah akibat dari hubungan gelap maupun korban pemerkosaan yang dilakukan majikannya di negeri orang.
Kholid adalah salah satu dari sepuluh bayi yang saat ini dirawat di Rumah Peduli Anak (RPA) TKI yang berada di Jalan JuruÂmuÂdi Perumahan Alam Raya Blok A 75, Kelurahan Benda, Kota Tangerang, Banten, senin siang (4/7).
Saat ini kondisi Kholid sangat memprihatikan karena kondisi fisiknya yang tidak sempurna. Bayi kelahiran Arab Saudi ini meÂngalami kebutaan, tulang kaki kirinya dan jari kelingkingnya tumÂbuh tidak normal. Kecacatan tubuh yang dialami Kholid diÂduga karena semasa di kanÂdungÂan, Ibunya kerap meminum obat keras untuk menggugurkan janin.
Rumah Peduli Anak TKI meÂnempati rumah setinggi dua lantai yang berada di pemukiman padat penduduk di Kelurahan Benda TaÂngerang, Banten.
Rumah seluas delapan kali sepuluh meter persegi ini berwarÂna kuning dan mempunyai gerÂbang rumah setinggi dua meter. Pintu masuk setinggi dua meter yang berada di sebelah kanan pagar dalam kondisi terbuka.
Masuk lebih dalam tersedia
car port yang pasangi kanopi warna putih untuk melindungi kenÂdaÂraan dari sengatan matahari dan guyuran air hujan. Tidak ada satu pun mobil yang terparkir di temÂpat ini.
Halaman rumah penuh peÂpoÂhonan rindang sehingga panas matahari tidak terasa sekalipun kondisi cuaca siang itu sedang paÂnas-panasnya.
Papan nama warna putih seÂtingÂgi tiga meter ditempatkan di haÂlaman rumah dengan mengÂhadap ke jalan. Ada papan nama berÂtulisan “Rumah Peduli Anak Tenaga Kerja Indonesiaâ€. Rumah ini berdiri atas kerja sama DeÂparÂtemen Sosial Republik IndÂonesia, BNP2TKI, Yayasan Puri Cikeas, dan GNKS.
Garasi rumah tegak lurus deÂngan car port. Di garasi ini hanya ada meja kayu
letter “L†dan emÂpat kursi untuk petugas keÂamanÂan. Seorang petugas keamanan tamÂpak berjaga-jaga sambil seÂseÂkali meminum kopi yang tersedia di atas meja. Juga ada mobil mainan.
Di bagian dalam, terdapat pintu maÂsuk di sebelah kiri dalam keÂadaan tertutup. Setelah dibuka terhampar luas ruang tamu deÂngan sofa untuk tamu. Masuk leÂbih dalam lagi, ada ruang tempat bermain bayi.
Di ruangan ini ada lima kasur yang diletakkan di lantai. Kasur tersebut digunakan lima bayi untuk istirahat. Dan ada juga beÂbeÂrapa bayi yang sedang asyik meÂminum susu di botol susu sambil tidur-tiduran.
Empat
baby sitter menjaga dan mengawasi dengan serius bayi tersebut. Beberapa kamar tidur untuk bayi juga ditempatkan di ruangan ini. Kamar tidur yang terÂbuat dari besi itu ditempati oleh dua bayi yang tertidur pulas.
Dua lemari kayu besar dan satu
filling cabinet untuk tempat meÂnaruh pakaian bayi diletakkan meÂnempel di dinding. Satu televisi 14 inci sebagai sarana hiburÂan juga tersedia di ruangan ini.
Satu
white board ditempel di dinding ruangan. Papan tersebut tertulis nama-nama bayi yang sedang dirawat di tempat ini.
Petugas Keamanan RPA TKI, Yayat mengatakan, bayi yang dirawat di tempat ini mayoritas berwajah Arab, ada juga yang berwajah China atau Hongkong.
†Tapi itu hanya satu atau dua bayi saja,†katanya.
Pria yang mengenakan safari warna hitam ini mengatakan, bayi yang dirawat di sini merupakan bayi yang berasal dari TKW yang hamil di luar nikah akibat dari korban perkosaan yang dilakukan majikannya baik di Timur Tengah maupun di negara lainnya.
“Karena mereka malu memÂbaÂwa bayinya bayinya ke kampung halaman karena tanpa ada proses penikahan akhirnya dititipkan di sini,†katanya.
Dia menambahkan, bayi yang dirawat di sini umurnya berÂvaÂriasi dari yang paling kecil berÂumur tiga bulan hingga yang paÂling tua berumur 1,5 tahun. MeÂreÂka kerap memanggil bapak dan ibunya kepada baby sitter yang merawatnya.
“Kadang saya nggak tega liÂhatnya bayi-bayi ini karena tidak jelas orangtuanya.â€
Yayat menambahkan, para TKW yang menitipkan bayi diÂtemÂpat ini berasal dari berbagai daerah seperti, Cianjur, SuÂkaÂbumi, Jawa Tengah, Timur hingÂga berasal dari Nusa Tenggara TiÂmur (NTT).
Titip Anak tak Dipungut Bayaran Kepala Badan Nasional PerlinÂdungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengatakan, bagi TKW yang ingin menitipkan bayinya yang berasal dari huÂbungan gelap ataupun pemerÂkoÂsaan bisa dibawa ke RPA TKI.
“Penitipan bayi tidak dipungut biaya alias gratis,†katanya.
Sebelumnya, dalam rilis BNPÂ2TKI tentang kondisi terbaru buÂruh migran nasional di 2010 ini, jumlah TKI yang kembali ke taÂnah air membawa pulang bayi haÂsil hubungan gelap di luar negeri dalam setahun terakhir melonjak tajam menjadi 273,7 persen. Pada 2009 ada 19 orang, dan kini 71 orang yang membawa pulang bayi ke Indonesia.
Jumlah TKI yang hamil setelah kembali ke Tanah Air juga berÂtambah 8,1 persen dari 197 orang pada tahun 209 menjadi 213 orang TKI wanita yang hamil pada 2010. Jumhur Hidayat khawatir jumÂlah TKI yang hamil di luar nikah bertambah apabila mereka tidak dibekali kekuatan mental dan keterampilan.
Apalagi, relatif banyak TKI yang wanita yang terpaksa memÂbawa anak dari hubungan gelap sejak di Tanah Air dan saat beÂkerja di luar negeri karena diÂpaksa oleh para majikan, oknum di penampungan TKI atau kekaÂsih mereka selama kerja.
“Antisipasi dini harus dilaÂkuÂkan sebelum para TKI wanita itu berangkat kerja ke luar negeri, baik dalam bentuk pemberian keteÂrampilan yang memadai dan juga berbagai informasi penÂdukung selama mereka bekerja,†katanya.
Jumhur menuturkan setiap emÂpat hari sekali, seorang TKI yang baru pulang dari negara dimana ditempatkan melalui Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI Selapajang Tangerang, BanÂten, terdeteksi membawa anak hasil hubungan gelap di tempat kerjanya.
Data yang dimiliki BNP2TKI ini diduga belum merupakan data yang sebenarnya karena banyak juga TKI hamil atau membawa bayi yang memilih pulang deÂngan penerbangan reguler dan tidak melapor. “Itu dilakukan karena faktor malu,†katanya.
Selain itu, dalam dua hari seÂkali selalu ada TKI yang pulang ke Indonesia melalui GPK TKI dalam keadaaan berbadan dua alias hamil tanpa menikah.
Menurut dia, bagi TKI yang pulang sudah membawa anak dari tempat dia bekerja tidak seÂmuanya mau membawa anaknya ke tempat tinggal mereka di kamÂpung halaman.
Bahkan, ada TKI yang meniÂtipkan anak hasil hubungan geÂlapnya di tempat mereka di panti asuhan atau sanak saudaranya dan ada yang sengaja meningÂgalkannya begitu saja di GPK TKI di Selapajang.
“Melihat kondisi itu, maka peÂmerintah harus mengupayakan penyelesaiannya dengan pelatihÂan dan mempersiapkan calon TKI,†katanya.
Tampung 10 Bayi Hasil Hubungan Gelap dan PemerkosaanManajer Rumah Peduli Anak (RPA) Yudi Ramadani meÂngatakan, RPA TKI berdiri sejak Februari 2009. Hingga kini, RPA TKI sudah menyeÂlaÂÂmatkan 24 bayi hasil huÂbungan gelap ataupun karena mengalami pemerkosaan yang dialami para TKW.
“Dari 24 anak itu kini tinggal 10 anak saja karena 14 anak teÂlah dibawa kembali oleh ibuÂnya,†katanya.
Yudi menjelaskan, banyakÂnya TKW yang menitipkan anakÂnya ke RPA karena mereka malu untuk membawa bayinya ke kamÂpung halamannya kaÂrena bukan hasil dari pernikahan.
Bahkan, sambung Yudi ada beberapa TKW yang memilih meÂnelantarkan atau membuang baÂyinya ke toilet di Bandara Soekarno-Hatta. “Karena kalut mereka sering berpikir kurang jerÂnih. Padahal, saya yakin suatu saat nanti pasti mereka akan meÂrindukannya anaknya,†katanya.
Alumnus IAIN Sultan MauÂlana Hasanudin, Serang ini menÂjelaskan, tujuan dari diÂdiÂrikÂannya RPA karena prihatin atas asib TKW serta bayi yang diÂdapat dari hasil hubungan geÂlap ataupun korban perkosaan ini.
Selain memberikan fasilitas peÂnitipan anak, kata Yudi, piÂhakÂnya juga sering memÂbeÂrikan nasehat keagamaan keÂpada para TKW yang akan menitipkan bayinya ke tempat ini untuk merenungkan terlebih dahulu selama enam bulan sebelum menitipkannya.
“Kami harap dalam proses perenungan tersebut mereka saÂdar sehingga setelah mereka tidak jadi menitipkannya. KaÂlauÂpun sudah terlanjur meÂniÂtipkan, mereka bisa mengÂamÂbilnya kembali anaknya,†katanya.
Sekalipun RPA mempunyai tujuan yang mulia, tidak mudah mengelolanya. Selain dana, maÂsalah berat lainnya adalah adaÂnya anggapan dari masyarakat bahwa anak-anak yang ada di RPA TKI adalah anak haram.
“Saya tidak rela jika anak-anak disini dikatakan anak haÂram karena jika mereka bisa protes kepada Tuhan, tentunya meÂreka tidak ingin terlahir daÂlam keadaan seperti sekarang,†katanya.
Untuk biaya opeasional RPA, kata Yudi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Rata-rata daÂlam satu bulan kami mengÂhaÂbiskan dana sebesar Rp 20-25 juta.â€
Dana sebesar itu, sambung Yudi digunakan untuk membeli susu, popok, honor tiga baby sitter, satu ibu asuh, tiga petugas keÂamanan dan tiga petugas penÂdataan yang berada di terminal TKI di Selaparang.
“Semua dana kami peroleh dari beberapa donatur, seperti dari pak Jumhur Hidayat, BNP2TKI, Yayasan Puri Cikeas dan juga ada yang berasal dari perseorangan,†katanya.
Dengan beberapa donatur yang ada, kata Yudi, kebutuhan operasional setiap bulannya bisa tertutupi dan tidak kekurangan lagi, seperti yang terjadi seÂbelumnya.
Bagi pihak lain yang ingin mengadopsi bayi tersebut, kata Yudhi pihaknya sangat selektif karena selain harus mampu seÂcara finansial untuk mengÂhidupi baÂyi tersebut, calon orang tua tersebut harus memiliki latar belakang yang baik pula.
[rm]