RMOL. Kejaksaan Agung (Kejagung) memburu tersangka baru kasus penerimaan gratifikasi Rp 11,7 miliar di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Bandara Juanda, Surabaya. Jaksa menduga, ada dana mengalir ke kocek anak buah tersangka bekas Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Bandara Juanda, Surabaya, Argandiono.
Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan, dugaan keterlibatan anak buah Argandiono didasari data seputar aliran dana yang diterima jajarannya. Dia meÂnyebut, hasil penelusuran jajarÂannya mengindikasikan, anak buah tersangka ada yang diduga ikut menikmati uang hasil peÂmeÂrasan selama kurun enam tahun belakangan.
“Ada pihak lain yang diduga turut mencicipi duit hasil peÂmerasan oleh tersangka ArganÂdioÂno selama tahun 2004-2010,†ujarÂnya. Darmono bilang, sejauh ini ia belum bias memastikan beÂrapa besar uang yang mengalir ke kocek anak buah tersangka. NaÂmun demikian, ia memastikan, piÂhaknya berusaha mengejar pelaku lain dalam kasus ini.
Ia menjelaskan, upaya meÂnyingÂkap misteri keterlibatan piÂhak lain masih ditelusuri secara inÂÂtensif. “Saya memang belum bisa memastikan keterlibatan piÂhak lain. Tapi, kami melakukan peÂnyisiran dari aliran uang nya dulu. Dari sana kemungkinan bertambahnya tersangka akan keÂlihatan,†tandasnya.
Anggota Satgas Mafia Hukum ini juga mengaku belum mengeÂtaÂhui apa yang menjadi dasar KeÂjaÂgung tidak melaksanakan peÂnahanan terhadap tersangka ArÂgandiono.
Lantas, kapan Korps Adhyaksa memeriksa Argandiono dalam kapasitas tersangka kasus ini? Darmono juga mengatakan tak mengetahui hal itu secara perÂsis. Dia menjanjikan akan meÂnanyakan hal ini kepada jajaran Pidsus terlebih dulu.
Darmono menegaskan, belum adanya penahanan serta penceÂgahÂan tersangka, bukan sebagai hal yang disengaja. KemungÂkinÂan besar, lanjutnya, penyidik JamÂpidsus masih memerlukan peÂngembangan penyidikan atas kaÂsus tersebut. Senada dengan DarÂmono, Kepala Pusat PeneÂrangÂan Hukum (Kapuspenkum) KeÂjagung Noor Rochmad meÂnyaÂtakan, pihaknya tengah mengÂincar anak buah Argandiono yang diduga ikut serta menerima gratifikasi Rp 11,7 miliar.
“Penyelidikan kasus ini terus diÂkembangkan. Jika ada fakta yang mengarah pada orang lain dan orang itu ikut bertanggung jaÂwab dalam penerimaan gratiÂfiÂkaÂsi tersebut, akan kami tindak,†tegasnya. Noor mengaku sanksi jika Argandiono melaksanakan keÂjahatan ini seorang diri. Sebab menurutnya, kejahatan tersebut berjalan sangat rapi alias nyaris tak mengundang kecurigaan banyak pihak selama enam tahun.
Menurut Noor, kasus ini terÂkuak setelah ada laporan salah seÂorang pengusaha Surabaya. PeÂngusaha itu merasa terbebani oleh biaya tambahan setiap mengirim barang ekspor-impor yang lewat Bandara Juanda. Dia melaporkan persoalan itu langsung ke KeÂjagung. “Maaf, kami tak bisa ungÂkap siapa pengusaha itu,†tanÂdasnya.
Karena dugaan melakukan tindakan itu, Argandiono dituduh melanggar pasal 11 dan 12 UnÂdang-Undang Tindak Pidana KoÂrupsi. “Penetapan sebagai terÂsangÂka dilaksanakan Kamis, lalu,†ucapnya. Mengenai maÂsaÂlah penyidik yang belum meÂnaÂhan Argiandono, Noor menÂjelasÂkan, pihaknya masih menunggu perÂkembangan penyidikan. “KaÂmi belum bisa melakukannya saat ini. Kami yakin dia tidak akan kabur kemana-mana,†tegasnya.
Menanggapi penetapan status tersangka terhadap pimpinan Bea Cukai Juanda Surabaya, Juru Bicara DiÂjen Bea Cukai Rinto Setiawan tidak mau bicara panjang lebar. Dikonfirmasi mengenai perkara yang melilit salah satu pimpinan lemÂbaganya, ia memilih meÂnyeÂrahkan langkah hukum atas kasus ini kepada kejaksaan. \
Dia juga memastikan, sejauh ini Bea CuÂkai sudah menjalankan prinsip keterbukaan dalam meÂlakÂsaÂnaÂkan seluruh kebijakan pemeÂrinÂtah. Artinya, sambung dia, Bea CuÂkai senantiasa berÂusaha meÂmatuhi setiap peraturan yang ada. “KaÂlau ada temuan peÂlanggaran huÂkum oleh aparat kami tentu akan kita serahkan ke lembaga yang berkompeten menangani maÂsalah itu,†teÂrangnya.
SDM Kita Tidak MumpuniAdhie Massardi, Aktivis GIB Aktivis Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi meÂnilai, terjadinya tindak piÂdana gratifikasi pada Bea Cukai bukan dipicu lemahnya perÂaturan lembaga tersebut. MeÂlainÂkan, karena tidak adanya personil yang mengÂawasi jalannya peraturan. KaÂrena itu, Adhie menilai, wajar jika di lembaga sekelas Bea CuÂkai pun masih ada praktik graÂtifikasi yang melibatkan oknum internalnya.
“Saya yakin peraturan Bea Cukai ketat. Tapi, sayangnya tak didukung SDM mumpuni unÂtuk menjalankan
rule of the game nya,†katanya.
Adhie memberi contoh kasus koÂrupsi alih fungsi hutan linÂdung yang akan dijadikan lahan industry, menurutnya, modus yang dilakukan sama dengan peÂnyuapan terhadap oknum di Imigrasi dan Bea Cukai. “MenÂjaÂdikan hutan sebagai lahan inÂdustri itu kan butuh izin yang tidak mudah. Tapi dengan mengÂgunakan uang yang besar, akhirnya petugas kehutanan jadi lunak hati dan meloloskan permintaan penerbitan izin tersebut,†tandasnya.
Menurut Adhie, korupsi daÂlam pengurusan ekspor dan impor di Bea Cukai dilatarÂbeÂlaÂkangi keinginan untuk memÂpercepat waktu pengurusan. Di samÂping itu, kekhawatiran masyarakat jika tidak memberi uang akan diperlakukan semeÂna-mena oleh petugas menjadi celah untuk mengeruk keunÂtungÂan pribadi.
Karena itu Adhie berÂpenÂdapat, Bea Cukai sebagai pintu masuk jalur perdagangan meÂmatuhi aturan main yang berÂlaku. Dirinya juga berharap KoÂmisi Pemberantasan KoÂrupsi (KPK) juga meningÂkatÂkan pengawasan di Bea Cukai manapun.
“Menangkap hakim yang terima suap saja mereka bisa, seharusnya menangkap para okÂnum Bea Cukai juga harus bisa dilakukan,†katanya.
Bisa Melarikan Diri ke Luar Negeri
Desmond Junaidi Mahesa, Anggota Komisi III DPR Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Desmond, melaÂkuÂkan penahanan terhadap terÂsangÂka bukanlah hal sulit. KeÂnapa? Karena tersangka dalam kasus ini bukanlah pejabat neÂgara yang harus mendaÂpatkan izin terlebih dahulu dari PreÂsiden. “Secata prosedural dan administratif, tidak sulit untuk melakukan penahanan. Ketika sudah diumumkan menjadi terÂsangka, harusnya ada tindakan hukum juga dari Kejagung berupa penahanan,†ujarnya.
Politisi Gerindra ini khaÂwaÂtir, tanpa ada penahanan terÂhaÂdap tersangka, institusi KeÂjaÂgung akan kembali diperÂmaÂlukan. Maksudnya? Selama ini, kata Desmond, contoh kasus yang tersangkanya sudah ditetapkan oleh Kejagung tapi belum ditahan itu banyak.
“Dan yang terjadi, karena tidak ada upaya penahanan dari Kejagung terhadap tersangka. Maka tersangka melarikan diri ke luar negeri. Akhirnya peÂnunÂtasan kasus tersebut jadi berÂlarut,†ungkapnya. Dalam kaÂsus ini, sambung Desmond, kaÂlau Kejagung tidak ingin kemÂbali dipermalukan karena kinerÂjanya yang lamban, maka Kejagung harus belajar dari masa lalu.
“DPR sendiri padahal sedang berupaya untuk mengemÂbaÂlikan kewenangan dan citra KeÂjagung yang sempat terÂpuruk. Kami ingin Kejagung lebih baik dari KPK,†imbuhnya.
[rm]