RMOL. Beberapa hari terakhir muncul polemik soal fatwa haram BBM bersubsidi. Itu bermulai dari pendapat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin yang menganggap orang kaya atau pemilik mobil mewah berdosa bila menggunakan BBM bersubsidi. Sebab sudah merampas hak golongan tidak mampu.
Belakangan, pendapat yang sekaligus imbauan ini diÂpahami sebagai fatwa haram huÂkumnya orang kaya mengÂguÂnakan BBM bersubsidi. Pro dan kontra pun muncul. Apakah imÂbauan ini efektif untuk meÂnyaÂdarkan maÂsyarakat agar tak mengÂgunakan BBM berÂsubÂsidi? Berikut liputannya.
“Selamat siang Pakâ€. Sapaan itu keluar dari mulut petugas StaÂsiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) bernomor 3413414 di Jalan Basuki RachÂmat, Jaktim.
Sapaan plus senyum ramah ini ditujukan kepada pria pengeÂmudi sedan Toyota Vios model terbaru. Petugas berkumis tipis itu kemuÂdian bertanya kepada pengendara itu hendak mengisi bahan bakar apa?
Untuk bensin ada tiga pilihan yakni Premium, Pertamax dan Pertamax Plus. Pengendara itu menyebut Premium. “Fulltank,†katanya yang meminta tanki mobilnya diisi sampai penuh.
Setelah membuka tutup tangki mobil, petugas memasukkan nozzle ke mulut tangki. “Mulai dari nol ya Pak,†kata petugas sambil tangannya menunjuk ke meter di badan dispenser (mesin pengisi bahan bakar). Premium pun mengalir ke tanki mobil keluaran di atas 2005 itu.
Premium adalah salah jenis BBM yang masih disubsidi pemeÂrintah. Harganya dipatok Rp 4.500 per liter. Sementara, PerÂtamax dan Pertamax Plus tidak disubsidi. Harga kedua jenis BBM itu naik turun mengikuti fluktuasi harga internasional.
Seperti hari biasanya aktivitas pengisian bahan bakar di SPBU ini selalu sibuk. Hampir setiap menit puluhan mobil memasuki tempat ini. Para pegawai SPBU tak henti-hentinya melayani kendaraan yang berdatangan.
SPBU Basuki Rachmat memiÂliki delapan buah mesin pengisian BBM (dispenser). Di tempat ini di sediakan empat baris tempat antrean pengisian BBM. Setiap barisnya memiliki dua dispenser dengan model terbaru. Setiap dispenser bisa melayani peÂngiÂsian Premium, Pertamax, PerÂtamax Plus.
Agar mudah mengenali, warna selang pengisian diberi warna berbeda. Kuning untuk Premium, biru Pertamax dan merah PerÂtaÂmax Plus. Sementara. Untuk seÂpeÂda motor disediakan dua disÂpenÂser yang ditempatkan di sebeÂlah pinggir bagian dalam SPBU.
Saking banyaknya yang henÂdak mengisi bahan bakar, antrean kendaraan sampai ke jalan raya. Arus lalu lintas di situ pun menÂjadi tersendat. Maklum SPBU ini satu-satunya tempat pengisian bahan bakar di sepanjang Jalan Basuki Rachmat.
Berbagai jenis mobil memaÂsuki tempat ini, mulai buatan JeÂpang sampai Eropa untuk meÂngisi bahan bakar. Model keluaÂran lama hingga yang terbaru.
Dua Toyota Kijang Innova berÂsamaan masuk SPBU. PeÂngenÂdaranya kompak meminta mobilÂnya diisi Premium. Tak lama berselang, Toyota Yarris warna orange berhenti di barisan paling pinggir. Dari selang yang diambil petugas, mobil itu juga akan diisi dengan Premium. Kejadian seperti itu terjadi berulang-ulang.
Pengendara Honda New CRV, Honda Civic, Honda All New City, Toyota Camry, Toyota KiÂjang Innova, Daihatsu Terios, SuÂzuki Swift, Nissan Grand Livina, Honda All New Jazz memilih diisi dengan BBM bersubsidi. Ramadhan, pengendera Toyota New Vios tahu fatwa haram itu dari televisi.
“Pas dengar beritanya saya piÂkir itu cuma guyonan. Saya sama keluarga cuma ketawa cekikikan aja. MUI ngapain pakai ikutan segala,†ujarnya kepada
Rakyat Merdeka sembari tersenyum.
Menurut pria yang berprofesi wiraswasta ini, tindakan pemeÂrintah mengandeng MUI untuk membuat fatwa haram bagi orang mampu yang membeli BBM berÂsubsidi, sebagai tindakan kurang pantas. Masih banyak cara-cara lebih bijak mengajak orang tak mengÂgunakan BBM bersubsidi.
“Saya kira pemerintah dan kementerian yang bertanggung daÂlam hal ini mempekerjakan orang-orang pintar dan profeÂsional. Masak nggak bisa cari ide yang lebih baik. Urusan BBM jaÂngan dikait-kaitkan dengan agaÂmalah, nggak pantas,†tandasnya.
Harianto, pemilik sedan Honda New City ini tidak setuju MUI mengeluarkan fatwa haram. SeÂbaiknya, kata dia, MUI fokus meÂngurusi agama, tidak ikut campur urusan pemerintah.
“Saya tidak merasa haram pakai BBM Subsidi. Selama beli premium dari uang sendiri bukan uang hasil
ngerampok atau korupsi itu halal. MUI mending nggak usah ikut-ikutan urusan begini dah,†katanya.
Ia menilai, pemerintah tidak tegas dalam membuat kebijakan sehingga banyak orang mampu yang masih menggunakan BBM bersubsidi. “Dulu katanya mobil di atas tahun 2005 nggak boleh pakai Premium. Peraturannya nggak ada sampai sekarang. PeÂmeÂrintah cuma bisa berwaÂcana. Kalau aturan itu diberlÂaÂkuÂkan, saya pasti patuhi,†tandasnya.
Fandi, pengemudi Kijang Innova mempertanyakan apa alaÂsan orang mampu haram mengÂgunakan BBM bersubsidi. “Kalau mengeluarkan statement mesti keluarkan alasan,†ujarnya.
Dia meminta pemerintah dan MUI menggunakan akal sehat dalam menelurkan kebijakan. Menurutnya, fatwa bukanlah hal yang main-main karena beruruÂsan dengan agama.
“Nggak bijak kalau pemerintah khususnya MUI mengeluarkan fatwa ini. Dari dulu saya tidak pernÂah keberatan jika MUI membuat fatwa, tapi untuk yang satu ini saya tidak setuju,†tegasnya.
Banyak Opsi, Mana Yang Dipilih?
Untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi, pemerintah membuat berbagai opsi. Mulai dari yang lembut sampai yang ekstrim.
Opsi lembut, misalnya, menÂjatah penggunaan BBM berÂsubsidi bagi kendaraan pribadi. Bila jatahnya sudah habis, harus menggunakan BBM non subsidi.
Untuk menjalankan opsi ini, setiap kendaraan bakal didata dan ditempeli stiker khusus. Bila stiÂker dipindai di mesin khusus yang dipasang di SPBU akan muncul data kendaraan berikut sisa jatah BBM bersubsidi.
Opsi ini sudah pernah diujiÂcoba di Jakarta Beberapa MiÂkÂroÂlet M01 Jurusan Kampung MeÂlayu-Senen dipasangi stiker ini. SaÂyangnya, tak jelas kapan alat peÂmindainya dipasang di SPBU yang dilalui rute angkutan umum ini.
Opsi berikut kendaraan dengan kapasitas mesin di atas 2.000 cc tanpa melihat tahun keluarannya, dilarang menggunakan BBM bersubsidi. Ini tidak berlaku untuk kendaraan umum.
Opsi agak keras yakni semua kenÂdaraan buatan di atas tahun 2005 dilarang pakai BBM berÂsubÂsidi, kecuali kendaraan berÂpelat kuning (angkutan umum). Opsi paling ekstrim, semua kenÂdaraan pribadi dilarang mengguÂnakan BBM bersubsidi. BBM bersubsidi hanya untuk kenÂdaÂraan umum.
Di luar cara pembatasan, ada opsi menaikkan harga Premium. Saat ini, perbedaan harga PreÂmium—BBM bersubsidi—deÂngan Pertamax dan Pertamax Plus sangat besar. Karena alasan ekonomis, orang memilih mengÂguÂnakan Premium. Subsidi pun membengkak. Bila harga PreÂmium dinaikkan, angka subsidi bisa ditekan.
Imbauan MUI:Jangan Rampas Hak Orang Tak MampuBukan hanya KH Ma’ruf Amin yang berpandangan orang mampu dosa mengÂgunaÂkan BBM bersubsidi. KH Amidhan, ketua MUI lainnya pun berpendapat sama.
“Pemerintah sudah meneÂtapkan (BBM bersubsidi) itu hak orang yang tidak mampu. Kalau dipakai oleh orang mamÂpu berarti dia sudah merampas hak golongan tidak mampu. Ini termasuk kategori dosa,†katanya.
Amidhan menjelaskan, peÂmaÂhÂaman haram dan dosa meÂmiliki dasar argumentasi yang diatur dalam Al Quran dan haÂdits. Ia menyakini larangan orang kaya menggunakan BBM subsidi sebagai perbuatan dosa.
Ia lalu mengutip surat Al AnÂfaal ayat 8. Kata dia, seburuk-buruknya makhluk di mata adalah makhluk yang diberikan akal tapi tidak menggunakan akalnya untuk mengerti.
“Kalau sudah dinyatakan BBM bersubsidi hak orang tidak mampu, orang kaya harus paham itu bukan haknya. KaÂlau tetap menggunakannya itu sama saja merampas. Kalau teÂtap dilakuÂkan sama saja orang kaya itu serakah,†tandas Amidhan.
Tetapi, menurut Amidhan, sulit menentukan kategori orang mampu dan tidak mampu. Perlu ada pengelompokan orang-orang yang berhak mengguÂnakan BBM bersubsidi.
“Seperti untuk angkutan masÂsal, sepeda motor, truk angkutan itu boleh (pakai BBM berÂsubÂsidi). Bukan mobil pribadi. MaÂsak mobilnya Alphard pakainya Premium. Itu serakah,†ucapnya.
Amidhan menegaskan, MUI belum mengeluarkan fatwa haram terkait soal ini. Kendati demikian, pihaknya berencana untuk membahas larangan orang kaya menggunakan BBM bersubsidi dalam Komisi PengkÂajian MUI.
[rm]