RMOL. Bekas hakim konstitusi Arsyad Sanusi kembali jadi sorotan. Ia tersenggol kasus pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pemilu legislatif daerah pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan I. Arsyad pun terlibat “perang mulut†dengan Ketua MK Mahfud MD mengenai hal itu.
Sebelumnya, nama Arsyad ramai diperbincangkan karena anggota keluarganya menerima pihak berperkara di rumah di rumah dinasnya. Bekas hakim karier itu divonis bersalah meÂlanggar kode etik. Arsyad meÂmutuskan mundur dari MK.
Rakyat Merdeka pun berbinÂcang-bincang dengan Arsyad meÂngenai kegiatannya setelah penÂsiun. Juga mengenai kasus peÂmalÂÂsuan surat keputusan MK itu.
Pria kelahiran Bone, 14 April 1944 kini memiliki banyak waktu luang. Ia mengaku belum lama pulang umroh. Kepergiannya menunaikan “haji kecil†itu untuk memenuhi nazar. Begitu meÂmuÂtuskan mundur dari MK dia meÂrenÂcanakan untuk melaksanakan ibadah itu.
Arsyad juga mengajak tujuh staf MK berÂsamanya ke Tanah Suci. “SuÂdah menjadi nazar saya, kalau pensiun mau ajak umÂroh orang-orang yang telah memÂbantu saya bekerja seÂlama ini. Yang diÂajak mulai sekÂretaris, asisten, dan beberapa orang satÂpam MK,†katanya.
Awalnya ketujuh staf MK itu menyambut positif ajakan Arsyad. Namun, menjelang keÂberangkatan hanya dua orang saja yang bisa ikut. Lima lainnya batal berangkat karena tak mendapat izin dari MK. “Padahal tiket dan visa sudah dibayar seÂmuanya. Karena tidak mendapat izin maka dibatalkan,†kata dia.
Sebelumnya, kata Arsyad, dia sudah meminta izin ke Ketua MK Mahfud MD dan Sekjen Janedjri M Gaffar untuk mengajak tujuh staf MK ibadah umroh. “Tapi tidak bisa diizinkan. Sekalipun saya sudah mengemis tapi tetap tidak diizinkan,†tuturnya.
Arsyad menuturkan, seluruh biaya untuk memberangkatkan tujuh staf MK untuk umroh berÂasal dari kocek pribadinya. UangÂnya berasal dari honor yang diteÂrima selama hampir tiga tahun menjadi hakim di MK.
“Selama ini honornya saya taÂbung. (Uang) itulah yang renÂcaÂnaÂnya saya gunakan membiayai keberangkatan kami. Tapi apa daya tidak semua bisa berangkat. Itu sudah cukup membuat saya sedih,†tandasnya.
Seluruh urusan umroh ini ditaÂngani perusahaan travel Khadijah Al Qubra. Perusahan jasa umroh dan haji ini milik putrinya, NesÂhaÂwati. “Banyak fasilitas-fasiÂlitas yang saya dapat, sehingga cukup meringankan,†kata kakek dari 15 cucu ini.
Singkat cerita, Arsyad berÂangÂkat umroh bersama istri, anak-anak, beberapa cucu dan dua staf MK. Berangkat 22 Mei dan kemÂbali ke Tanah Air pada 2 Juni lalu.
Sepulang umroh, Arsyad terseÂrang penyakit. Menurut dia, saat di Madinah mulai batuk-batuk. Belakangan, saÂkitÂnya makin parah. TengÂgoÂroÂkanÂnya sakit juga terserang flu.
Arsyad berobat ke Surabaya. Ia memiliki rumah di kota pahlawan itu. Putri sulungnya, Neshawati juga memiliki usaha di kota ini. “Dokter pribadi dan keÂÂluarga ada di sini.
AlhamÂdulÂliah memberiÂkan obat sekarang sudah agak baikan. Ini cuma berobat jalan, nggak sampe diÂopname,†tuturnya.
Setelah pensiun, Arsyad mengÂhabiskan banyak waktunya untuk menulis buku. “Kerjaan saya seÂkarang penulis sekaligus penjual buku,†tuturnya sembari tertawa.
Seperti diketahui, pada tanggal 25 April lalu, Arsyad melunÂcurÂkan lima buah buku hasil karÂyaÂnya di Hotel Nikko, Jakarta. PeÂlunÂcuran buku itu di hadiri Ketua MK Mahfud MD, bekas wakil preÂsiden Jusuf Kalla, Ketua MA HaÂrifin Tumpa, seluruh hakim konsÂtitusi, para hakim agung, hakim tinggi, pengacara, dan staf MK.
Lima buku yang ditulisnya, maÂsing-masing berjudul “TebaÂran Pemikiran Hukum†setebal 900 halaman, kemudian “Cyber Crime†setebal 500 halaman. Buku ini sudah diberi pengantar oleh Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung.
Selain itu, ada juga buku yang berjudul “Hukum Tentang PerÂdagangan Elektronik†setebal 600 halaman. Kemudian, buku yang berjudul “Konvergensi Hukum dan Teknologi Informasi†setebal 500 halaman. Buku ini meruÂpaÂkan buku dari hasil disertasinya di Fakultas Universitas IndoneÂsia. Buku terakhir berjudul “HuÂkum Teknologi Informasi†seÂtebal 800 halaman.
Setelah peluncuran, Arsyad siÂbuk mempromosikan kelima buku yang ditulisnya. Tanpa malu-malu, Dia pun meminjam kata ‘penjual buku’ untuk kegiaÂtan yang ditekuninya kini.
“Saya menawarkan buku saya ke kiri kanan,
Alhamdulillah respons orang-orang bagus. Lima buku ini sudah bÂanyak yang peÂsan seperti BTN, Bank Mandiri, rekan-rekan pengadilan, dan MA. Saya juga menaÂwarÂkan kepada reÂkan-rekan doÂsen, kalau berÂkeÂnan boleh datang ke rumah,†ujarnya semÂbari bercanda.
Arsyad menuturkan, pelunÂcuÂran kelima buku tersebut sebagai pertanda 45 tahun perjalanan kaÂriernya di dunia hukum. MenÂuÂrutÂnya, kelima buku itu meruÂpakan buah pemikirannya sejak memulai karir tahun 1966 sampai tahun 2011.
“Apa yang saya tuangkan di buku itu berdasarkan pemikiran saya selama 45 tahun. Buku suÂdah ditulis sejak saya jadi Ketua Pengadilan Tinggi Kendari, keÂmudian Ketua PeÂngadilan Sulsel, dan Sulbar, sampai akÂhirnya menjadi hakim MK,†katanya.
Meski baru meÂmaÂsarkan buku-bukunya kepada beberapa instiÂtusi, lembaga hukum, dan teman-teman deÂkatÂnya, kedepannya Arsyad berencana memasarkan bukunya melalui toko buku.
“Sekarang saya memang beÂlum kontak Gramedia atau GuÂnung Agung. Tapi ke depan renÂcananya mau dipasarkan ke toko buku, biar semua orang bisa memÂbeli dan membacanya,†katanya. Berapa harga bukunya? DeÂngan enteng, Arsyad mengataÂkan 25 dolar Amerika. NaÂmun, dia memberkan potongan harga membeli paket lima buku.
“Kalau satu paket buku itu dihargai satu juta ruÂpiah. Buku saya tebal. Bawa lima buku saya harus pakai dua taÂngan,†ujarÂnya semÂbari terÂtawa.
Dua Kali Tanya Panitera Soal Penambahan“Itu Sama Saja Bunuh Diri...â€
Arsyad Sanusi tak diterima dituding terlibat dalam pemÂbuatan surat palsu keputusan MK. Ia balik menuding Ketua MK Mahfud MD dan Sekjen Janedjri M Gaffar telah melaÂkukan kebohongan besar.
Dia lalu menjelaskan latar belakang dari permasalahan ini. Menurutnya, gugatan ParÂtai Hanura mengenai hasil PeÂmilu DPR di MK ditangani Panel I. Sidang Panel dipimpin langsung Mahfud MD dan berÂaÂnggotakan hakim konstitusi Arsyad Sanusi dan Haryono.
“ Kasus gugatan Dewi Yasin Limpo kan termasuk gugatan ParÂtai Hanura. Begitu saya meÂngetahui dia (Dewi Yasin LimÂpo) orang Makasar, saya meÂminta kepada Pak Mahfud agar perkara itu dia saja yang taÂngaÂni. Saya tidak mau memeriksa perÂkara itu, khawatir nanti dikira ada dugaan KKN,†jelasnya.
Menurut Arsyad, Mahfud-lah memeriksa perkara itu. SeÂtelah diperiksa, putusannya diÂbuat Arsyad. Dalam RPH, semÂbilan hakim sepakat gugaÂtan itu beralasan dan dikabulkan.
Mengenai Masyhrui Hasan yang datang ke rumah pada 16 Agustus 2009, Arsyad tak membantahnya. “Dia datang ke rumah secara kekeluargaan. Istri saya telah menganggap anakÂnya seÂbagai cucu. Ya saya terima dong, masak orang bertamu saya tolak, saya usir,†katanya.
Untuk menjelaskan persoaÂlan ini, Arsyad meminta Panja Mafia Pemilu DPR memanggil dirinya, “Seluruh permasalahan ini akan saya ungkap, kalau Panja berkenan memanggil saya,†katanya.
Arsyad menuturkan, pembeÂriÂtaan miring terhadap dirinya sudah bergeser menjadi perang pribadi. “Saya dilihat di teleÂvisi, media cetak, semuanya sudah melebar, seolah-olah sudah menjadi perang pribadi. Saya tidak mengerti mengapa masalah-masalah pribadi diÂbuka di depan umum. Itu yang sangat saya sedihkan,†ujarnya.
Ia merasa setahun ini telah difitnah, dizalimi dan dibunuh karakternya dua kali. Yang paÂling membuat Arsyad sedih, setiap pernyataan Mahfud yang menyudutkannya dirinya selaÂlu disaksikan keluarganya.
“Nggak maÂsuk akal apa yang dituduhkan. Bodoh dan gila bener saya mau membuat surat palsu mengenai jawaban perÂmohonan dari KPU. Itu bunuh diri namanya,†katanya.
[rm]