Berita

X-Files

Penanganan Kasus Suap Pemilihan DGS BI Lemah

Tersirat Dari Putusan Hakim Yang Tak Kompak
RABU, 22 JUNI 2011 | 07:05 WIB

RMOL. Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diwarnai dissenting opinion alias pendapat berbeda hakim, menyiratkan masih adanya sederet kelemahan di level penyidikan maupun penuntutan perkara korupsi yang diemban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kendati begitu, Kepala Hu­mas KPK Johan Budi Sapto Pra­bowo menghormati muncul­nya pendapat berbeda dari anggota majelis hakim yang menangani persidangan dengan terdakwa Daniel Tanjung dan Sofyan Us­man, terkait perkara suap pemi­lihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS-BI)  Mi­randa Goeltom.

Meski masih ada beda pen­dapat hakim, lanjut Johan, vonis terhadap terdakwa sudah dijatuh­kan. Artinya, penanganan perkara ini sudah final alias tuntas. “Su­dah ada vonis 15 bulan pen­jara. Artinya meski ada catatan, toh pro­ses persidangan kasus ini sudah selesai. Sudah ada ke­teta­pan hu­kum yang mengikat,” ujarnya.


Johan pun tidak setuju jika dissenting opinion hakim tersebut dijadikan alasan berbagai pihak untuk mendiskreditkan kinerja KPK dalam mengusut perkara ini. Disampaikan, jajaran KPK selama ini sudah berusaha opti­mal dalam menyampaikan fakta-fakta dan bukti terkait masalah yang melilit para terdakwa kasus ini, termasuk dalam perkara ter­dakwa Daniel dan Sofyan.

“Saya tidak sependapat kalau penyidikan KPK dalam kasus ini dianggap lemah,” tuturnya seraya menambahkan, terjadinya beda pendapat hakim yang menyi­dang­kan kasus ini didasari per­tim­bangan hukum hakim yang ber­sangkutan. “Dissenting opi­nion adalah hak majelis.”

Selain terjadi dissenting opi­nion, kelemahan penangan kasus ini meliputi aspek siapa pemberi cek pelawat yang didistribusikan kepada para politisi Senayan? Da­lam hal lain, penetapan status tersangka Nunun Nurbaeti yang didasari pada keterangan saksi, Arie Malangjudo yang menyebut bahwa Nunun memerintahkan pem­berian cek pelawat untuk ang­gota Komisi IX DPR masih mengundang tanda tanya.

Soalnya, merujuk pada hukum positif Indonesia, yakni Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan se­orang saksi belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan se­seorang atau dikenal dengan isti­lah Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi).

Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi tanpa ditambah keterangan saksi lain atau alat bukti lain, maka kesaksian tunggal tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk mem­buktikan kesalahan seseorang.

Namun, menurut Johan, pene­ta­pan status tersangka terhadap Nunun dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang. “Penyidik mempunyai kewe­nangan dalam menentukan status seseorang dalam suatu perkara. Pasti ada pertimbangan-pertim­ba­ngan dan bukti-bukti yang kon­kret,” tandasnya.

Akan tetapi, ia belum mau me­rinci dua alat bukti yang konon di­jadikan sebagai senjata pa­mung­kas penyidik KPK dalam menjerat Nunun sebagai ter­sang­ka kasus ini. “Nanti di pengadilan akan disampaikan,” ujarnya.  

Johan mengingatkan, Nunun ditetapkan sebagai tersangka se­jak Februari lalu. Dia diduga ber­peran menyebarkan puluhan lem­bar cek pelawat bernilai Rp 24 mi­liar kepada 30 anggota DPR pe­riode 1999-2004 seusai pemi­li­han Deputi Gubernur Senior Bank In­donesia pada 2004 yang dime­nangi Miranda Swaray Goeltom.

Sejauh ini KPK sudah men­e­tapkan 30 tersangka yang kemu­dian menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, ke­cuali Nunun. Johan mengatakan, Komisi akan menjelaskan bukti yang menguatkan keterlibatan Nunun kepada suaminya, Adang Darad­ja­tun jika bersedia datang ber­sama istrinya ke KPK.

“Sampai saat ini, kami me­ngan­dalkan kerja sama dengan pihak-pihak lain untuk membawa Nunun kembali ke Tanah Air,” katanya. Dia menambahkan, KPK tengah gencar menelusuri siapa saja pihak yang disangka sebagai pemberi cek pelawat tersebut.

Tak Mungkin Beda Jika Penyidikan Dan Penuntutan Kuat
M Taslim, Anggota Komisi III DPR

Dissenting opinion atau beda pendapat hakim yang me­nangani kasus korupsi, hen­daknya tidak terjadi. Karena ini bisa memunculkan anggapan masyarakat tentang ketidak­sin­kronan hakim dalam me­na­ngani kasus korupsi.

Selain itu, belum adanya pe­ne­tapan status tersangka terha­dap sejumlah pihak yang di­duga terlibat perkara cek pela­wat, dinilai bisa memicu dis­sen­ting opinion lain pada per­si­dangan kasus cek pelawat dengan terdakwa lainnya.

“Idealnya dalam penanganan kasus korupsi, penyidikan dan penuntutannya harus kuat. De­ngan penyidikan dan penun­tutan yang kuat, maka ke­mung­kinan terjadinya dissenting opinion itu lebih kecil,” ujar anggota Komisi III DPR M Taslim.

Politisi Partai PAN ini men­duga, terjadinya dissenting opi­nion dipicu masih adanya ke­le­mahan pemberkasan penyi­di­kan perkara oleh penyidik KPK. Dari situ lanjutnya, se­cara berturut-turut akan ber­pe­ngaruh terhadap materi tun­tutan jaksa.

“Saya rasa materi yang ter­angkum dalam berkas perkara penyidikan sejak awal lemah. Ini tidak boleh, apalagi dalam penanganan kasus korupsi, harus dipertimbangkan secara matang agar argumen jaksa di persidangan tidak mudah di­patahkan,” tandasnya.

Disampaikan juga, faktor komplek lain yang mempenga­ru­hi munculnya dissenting opi­nion kemungkinan dipicu masih belum lengkapnya pemb­e­r­ka­san perkara yang menyeret pi­hak lainnya.

“Kan masih ada se­jumlah nama yang tidak dija­di­kan seba­gai tersangka kasus ini. Salah satu contohnya Arie Ma­lang­judo itu. Ini bisa mem­pengaruhi pendapat hakim yang menyi­dang­kan perkara ini,” ujarnya.

Dia memandang, munculnya dissenting opinion hakim dalam persidangan kasus korupsi, oleh kalangan awam bisa dinilai miring. “Jangan-jangan hakim­nya membela kepentingan pihak tertentu dan sebagainya,” katanya.

Yang pasti tambah dia, belum adanya penetapan status ter­sangka terhadap Arie juga bisa memicu anggapan bahwa KPK masih tebang pilih dalam me­nangani perkara cek pela­wat ini.

Perbedaan Bisa Dimufakatkan
Chaerul Huda, Pengamat Hukum

Terjadinya dissenting opinion atau pendapat hakim yang berbeda dalam menilai suatu perkara, bisa terjadi pada persidangan apapun.

Yang jelas, KPK dinilai bisa menetapkan status tersangka terhadap Nunun Nurbaeti, wa­lau ada anggapan satu kete­rangan saksi saja tidak cukup menjadikan seseorang sebagai tersangka atas suatu perkara.

Pakar hukum Chaerul Huda menyebutkan, dissenting opi­nion bisa terjadi pada semua per­sidangan. “Hanya kebetulan ini yang pertama kali terjadi di Pengadilan Tipikor,” ujarnya.

Menurut Chaerul, perbedaan pendapat biasanya muncul ka­rena adanya penafsiran berbeda atas fakta maupun penafsiran hukum dari hakim. Guna me­ngambil putusan atas perkara, lanjutnya, biasanya dilakukan voting suara hakim terbanyak yang menangani hal tersebut.

“Sah-sah saja, yang penting bisa dimufakatkan hasilnya,” kata dosen Fakultas Hukum Univer­sitas Muhamadiyah Jakarta ini.

Chaerul juga bicara ten­tang sub­stansi Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang me­nyebut satu keterangan saksi tidak bisa di­jadikan alat bukti un­tuk me­ne­tapkan seseorang se­bagai ter­sangka.

Menurut dia, kalau pa­sal itu diabaikan, orang bisa de­ngan mu­dah memfitnah orang lain agar bisa dijadikan tersang­ka pada sebuah perkara.

Seba­lik­nya, jika pasal itu ter­lalu dikedepankan, maka orang yang seharusnya menjadi ter­sangka bisa mudah lolos.

Sedangkan dalam konteks be­lum ditetapkannya Arie Ma­lang­judo dan Emir Moeis seba­gai tersangka oleh KPK, me­nurut Chaerul, langkah penyi­dik KPK sudah betul. Lang­kah penyidik bisa dipicu bahwa Ari dan Emir tidak dikategorikan se­ba­gai subyek perkara ini.

“Secara yuridis, kalau ada yang tidak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, lebih disebabkan karena dalam hu­kum ada istilah yang bersang­kutan dianggap sebagai alat tan­pa kehendak. Maka dalam konstruksi kasus ini dia seakan terlibat,” urainya.

Dia menilai, belum adanya pe­netapan tersangka terhadap Arie maupun pihak lain, bisa di­la­tari karena posisi mereka da­lam kasus ini belum jelas.   [rm]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Pertunjukan ‘Ada Apa dengan Srimulat’ Sukses Kocok Perut Penonton

Minggu, 28 Desember 2025 | 03:57

Peran Indonesia dalam Meredam Konflik Thailand-Kamboja

Minggu, 28 Desember 2025 | 03:33

Truk Pengangkut Keramik Alami Rem Blong Hantam Sejumlah Sepeda Motor

Minggu, 28 Desember 2025 | 03:13

Berdoa dalam Misi Kemanusiaan

Minggu, 28 Desember 2025 | 02:59

Mualem Didoakan Banyak Netizen: Calon Presiden NKRI

Minggu, 28 Desember 2025 | 02:36

TNI AL Amankan Kapal Niaga Tanpa Awak Terdampar di Kabupaten Lingga

Minggu, 28 Desember 2025 | 02:24

Proyek Melaka-Dumai untuk Rakyat atau Oligarki?

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:58

Wagub Sumbar Apresiasi Kiprah Karang Taruna Membangun Masyarakat

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:34

Kinerja Polri di Bawah Listyo Sigit Dinilai Moncer Sepanjang 2025

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:19

Dugaan Korupsi Tambang Nikel di Sultra Mulai Tercium Kejagung

Minggu, 28 Desember 2025 | 00:54

Selengkapnya