RMOL. Lima orang aktivis Masyarakat Anti Korupsi Indonesia yang datang ke Singapura untuk membantu KBRI mencari Muhammad Nazaruddin mengaku mendapat perlakuan tidak baik dari KBRI dan polisi Singapura.
Mereka adalah Sarman El Hakim, Adnan Balfas, Tommy Diansyah, M. Egi Sabri, dan Dendi Satrio. Menurut pengakuan mereka, saat mendatangi KBRI hari Rabu (15/6) sekitar pukul 10.00 waktu setempat, petugas KBRI menghubungi polisi Singapura untuk melakukan penangkapan terhadap mereka.
Pejabat KBRI menolak membantu Sarman dkk mencari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Alasannya, KBRI menjalankan misi diplomatik, bukan mengurusi Nazaruddin yang lari ke luar negeri.
Paspor Sarman Cs pun ditahan. Petugas di kantor polisi Tanglin mengatakan baru akan memberikan kembali paspor mereka setelah ada keputusan dari Kejaksaan Singapura.
"Kami sangat hormati aktivis anti korupsi. Tapi kalau sampai masuk ke negara lain itu akan berlaku hukum di negara lain tersebut. Saya yakin kepolisian Singapura tidak langsung ambil tindakan kalau tidak ada pelanggaran hukum berlaku," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus (TB) Hasanuddin kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Jumat, 17/6).
TB pun langsung mengecek kebenaran kabar itu langsung ke KBRI di Singapura. Bagaimanapun, seharusnya KBRI tidak mengkriminalisasikan warga negaranya sendiri. Dan polisi negeri Singa tidak mungkin menangkap WNI yang sedang berada di dalam kantor KBRI kecuali KBRI itu sendiri yang meminta polisi menangkap.
Dari upaya meminta konfirmasi yang dilakukan TB Hasanuddin ke Atase Pertahanan di KBRI Singapura Kolonel Sagala, diketahuilah bahwa para aktivis MAKI ditangkap karena melanggar hukum Singapura. Kolonel Sagala menjelaskan pada TB kronologi penangkapan lima aktivis itu. Pada Selasa siang (14/6) kelima aktivis itu melakukan demonstrasi di Orchard Road tanpa izin. Lalu dari situ mereka ke KBRI pada petang hari.
"Mereka meminta ijin membuka pos penangkapan Nunun Nurbaetie dan Nazaruddin, menggunakan KBRI sebagai tempat tidur. Dijelaskan KBRI, tidak boleh ada posko penangkapan di KBRI karena para diplomat tidak menjalankan misi penegakan hukum dan berdasarkan konvensi Jenewa itu dilarang," terang TB menjelaskan keterangan Atase Pertahanan.
Akhirnya para aktivis memutuskan untuk tidur di depan KBRI (bukan wilayah kedaulatan Indonesia) dan mereka memasang poster-poster anti korupsi tanpa izin kepolisian Singapura.
"Karena mereka tidur di luar KBRI, Rabu pagi (15/6) mereka diusir polisi Singapura. Kemudian para aktivis berteriak-teriak memaksa masuk ke dalam KBRI. Dari situ petugas di KBRI (polisi Singapura) melaporkan keributan itu ke kepolisian setempat. Para aktivis ditangkap, ditahan paspornya tapi orang-orangnya tidak," terangnya.
TB Hasanuddin pun meminta KBRI segera berkoordinasi dengan pemerintah Singapura untuk mengembalikan paspor para aktivis dan menganjurkannya pulang ke Indonesia.
"Sampai hari ini KBRI belum tahu nasib mereka bagaimana, tapi yang jelas para aktivis seperti gelandangan sekarang. Maka saya minta KBRI segera berkoordinasi dengan pemerintah Singapura agar paspor mereka dikembalikan dan anjurkan mereka pulang ke Indonesia," tuturnya.
[ald]