Berita

Dwi Seno Widjanarko (DSW)

X-Files

Bukti Kasus Pemerasan Jaksa DSW Cuma 1,1 Juta

Segera Dibawa KPK Ke Pengadilan Tipikor
JUMAT, 20 MEI 2011 | 05:04 WIB

RMOL.Jumlah sangkaan pemerasan jaksa Dwi Seno Widjanarko (DSW) terhadap Kepala BRI Cabang Juanda, Ciputat, Feri sempat siur. Kabar yang beredar di KPK Rp 50 juta. Di Kejaksaan Agung hanya Rp 1,1 juta.

Berkas penyidikan terhadap jaksa intel Kejaksaan Negeri Ta­ngerang ini telah dinyatakan leng­kap alias P21 oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah itu, menurut Ke­pala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, Jaksa Pe­nuntut Umum (JPU) KPK segera membuat surat dakwaan.

“Paling lama 14 hari kerja akan dilim­pahkan ke Pengadilan Tipikor Banten,” katanya ketika di­hu­bungi, kemarin.

Menurut Johan, Seno disidang di Pengadilan Tipikor Banten karena tempat kejadian perkara (TKP) kasus ini di Serpong, Ta­ngerang Selatan, Banten. “Pe­na­hanan Seno juga sudah dipindah ke Rutan Serang,” ucapnya.

Versi KPK, Seno ditangkap pada 11 Februari lalu, saat baru me­nerima uang dalam amplop coklat yang dibungkus plastik dari seorang pegawai BRI. Sem­pat terjadi simpang siur mengenai jumlah uang itu, apakah Rp 50 juta atau hanya Rp 1,1 juta. Na­mun, Johan mengakui, KPK me­nyita barang bukti Rp 1,1 juta yang disimpan dalam amplop coklat saat penangkapan Seno.

Tidakkah perkara ini terlalu kecil bagi KPK yang merupakan lembaga superbodi  penanganan kasus korupsi? Menurut Johan, meski duit dalam amplop itu ha­nya Rp 1,1 juta, KPK tetap me­rasa pantas menangani kasus ini. Alasannya, KPK tidak sekadar mengandalkan jumlah duit suap sebagai alat bukti.

“Kami mem­punyai bukti-bukti yang cukup, tidak hanya uang Rp 1,1 juta. Silakan ikuti persida­ngannya. Lagipula pada awalnya DSW meminta Rp 50 juta, cuma yang didapat hanya Rp 1,1 juta,” tambahnya.

Johan pun menepis kabar bahwa KPK sengaja melakukan penjebakan, sehingga Seno se­olah-olah melakukan pemerasan. “Kami merespon laporan yang masuk ke KPK dari masyarakat. Dalam laporan itu, ada dugaan sa­lah satu penegak hukum me­lakukan pemerasan,” tandasnya.

Ketika turun ke lapangan, lan­jutnya, tim penyelidik KPK me­ne­mukan bukti-bukti DSW mela­kukan pemerasan. Sehingga, tim penyelidik melakukan penang­ka­pan. “Waktu tangkap tangan, kami punya bukti yang kuat,” ujarnya.

Sementara itu, pengacara Seno, Thomson Situmeang mene­gas­kan, kliennya tidak menerima Rp 50 juta. Barang bukti yang dimi­liki KPK hanya Rp 1,1 juta dalam pecahan Rp 1000. “Itu pun dari bundelan Rp 1000, jadi ada 10 bundel. Masing-masing dilapisi Rp 50 ribu,” katanya.

Lantaran itu, Thomson yakin kliennya dijebak. Apalagi, biasa­nya KPK mengungkap ba­rang bukti sejak awal penan­g­ka­pan. Tapi, dalam kasus yang di­ala­mi kliennya, KPK baru mem­buka ba­rang bukti setelah be­be­rapa kali pemeriksaan. “Maka­nya, dari kemarin kami yakin ada unsur jebakan,” ujarnya.

Menurut Thomson, kliennya be­lum sempat memegang uang tersebut. “Mereka ketemu, ngob­rol, dan langsung pulang. Bung­kusan uang ditaruh di jok bela­kang mobil,” tandasnya.

Meski begitu, pihak KPK tetap yakin Seno melakukan pem­e­ra­san. Sejumlah saksi pun dimintai keterangan oleh penyidik KPK, termasuk pemberi uang yang merupakan karyawan bank BRI, anak buah Kepala Cabang BRI Juanda, Ciputat. Versi KPK, uang yang diterima Seno terkait jaba­tannya sebagai jaksa yang sedang menyelidiki kasus.

Namun, Seno membantahnya. Pemberian uang itu, menurut dia, tidak berkaitan dengan tugasnya sebagai jaksa, melainkan hanya bantuan untuk kegiatan Maulid Nabi di komplek kediamannya.

Menurut Johan, KPK menjerat Seno dengan Pasal 12 huruf e Un­dang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembe­rantasan Tindak Pidana Korupsi, seb­a­gai­mana diubah dengan Undang-Un­dang Nomor 20 Tahun 2001, mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang de­ngan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan me­nyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau mene­rima pembayaran dengan po­to­ngan, atau untuk mengerjakan se­suatu bagi dirinya sendiri.

Amplop Coklat Dan B 1835 VFD

Tim penyelidik KPK menangkap jaksa Dwi Seno Wijanarko (DSW) yang diduga menerima uang hasil memeras Kepala Cabang BRI Juanda, Ciputat, Ta­ngerang Se­latan, Feri. Tim me­nemukan uang tersebut di sebuah amplop cokelat berbungkus plastik.

Penyelidik KPK menangkap Seno di Jalan Raya Serpong, Ta­ngerang Selatan pada Jumat (11/2) sekitar pukul 21.00 WIB. Saat ditangkap, Seno menggunakan mobil Daihatsu Terrios hitam ber­nomor polisi B 1835 VFD.

Dari penangkapan tersebut, tim KPK menyita amplop cokelat berisi uang dan mobil itu. Tim lan­tas membawa Seno ke Gedung KPK di Jalan Rasuna Said, Ku­ningan, Jakarta Selatan. KPK ke­mu­dian menyematkan status ter­sangka kepada jaksa intel Ke­jak­saan Negeri Tangerang tersebut.

Namun, pengacara Seno, Syai­ful Hidayat menyatakan bahwa uang itu bukan hasil memeras, melainkan bantuan. Inisiatifnya dari pemberi atau pegawai BRI. Hal tersebut disampaikan Syaiful di Gedung KPK, Sabtu (12/2).

Menurut Syaiful, pertemuan per­tama Seno dan Feri terjadi pada 4 Februari 2011. Dalam per­temuan itu, lanjutnya, Seno dan Feri berkenalan dan bicara pe­luang bisnis sekaligus konsultasi masalah hukum.

“DSW juga bicara donasi un­tuk pem­ba­ngu­nan masjid dan santunan anak yatim,  tapi tak se­but angka,” ujarnya. Di sana, kata Syaiful, juga ada dua petugas ke­polisian yang mengenalkan Feri kepada Seno. Polisi itu, men­u­rutnya, berinisial S dan D.

Setelah kasus ini terungkap, Jaksa Agung Basrief Arief me­mas­tikan bahwa Seno diberhen­tikan sementara sebagai jaksa fungsional Kejari Tangerang. “Se­lanjutnya kita tunggu pe­nyidikan KPK,” katanya.

Pada awal kasus ini bergulir, Basrief menyatakan, kejaksaan akan berkoordinasi dengan KPK untuk menyelidiki dugaan keter­libatan atasan Seno atau jaksa lainnya.

“KPK tentu akan me­laku­kan dari sisi pidana. Kalau KPK me­ne­mukan ada dugaan ke jaksa yang lain, tentu kami akan tarik dari sisi kepegawaiannya,” tuturnya.

Basrief meminta peristiwa penangkapan Seno dapat menjadi pelajaran bagi semua jaksa, pe­gawai dan pejabat kejaksaan se­cara umum. “Salah seorang sau­dara kita telah ditangkap, saya ha­rap kita semua dapat me­ngambil pelajaran yang berharga atas peristiwa ini,” tuturnya.

Kritik KPK Juga Kritik Kejaksaan

Andi Rio Idris Padjalangi, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Andi Rio Idris Padjalangi ber­pendapat, tertangkapnya jaksa Dwi Seno Wijanarko (DSW) oleh Komisi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK) bisa disebut sebagai prestasi jika ditinjau dari segi moralitas. Namun, jika perkara itu ditinjau dari kewe­nangannya, maka ia menilai KPK masih lemah.

“Mereka itu seharusnya me­nangani perkara besar. Kalau hanya menangani perkara yang jumlahnya setara dengan upah minimum regional atau UMR, buat apa,” kata politikus Partai Golkar ini.

Menurut Andi, sebagai lem­ba­ga superbodi, KPK belum me­nunjukkan prestasi yang maksimal saat menangani per­kara besar. Aroma tebang pilih pun masih tercium, meski ketua KPK telah berganti.

“Kasus jaksa DSW ini per­kara kecil. Kemudian kasus tra­vel cheque, KPK hanya bisa menangkap penerimanya. Da­lam kasus Gayus, KPK masih kesulitan menelusuri aliran da­na di rekeningnya,” beber dia.

Dia tak hanya mengkritik KPK sebagai pihak yang me­nangani perkara ini, tetapi juga memberikan masukan kepada kejaksaan. Menurutnya, kasus ini semakin menunjukkan bah­wa kejaksaan masih dihinggapi mafia hukum. Sehingga, ma­syarakat kurang bersimpati ter­hadap instansi kejaksaan ma­napun.

Andi menilai, peristiwa itu terjadi antara lain karena le­mah­nya pengawasan Kepala Ke­jaksaan Negeri Tangerang kepada anak buahnya. Sehing­ga, dengan mudahnya Seno me­lakukan perbuatan seperti itu. “Yang bertindak sebagai penga­was di sana, ya Kajari. Mung­kin pengawasan dari Kajari tidak ketat,” ucapnya.

Dia pun berharap kejaksaan manapun memperketat peng­a­wa­san terhadap para jaksanya. Apalagi, remunerasi kejaksaan sudah disetujui DPR, sehingga kejaksaan pada tingkat mana­pun harus melakukan refor­masi birokrasi secara besar-besaran.

Ibarat Bersenjata Tanpa Peluru

Yenti Garnasih, Pengamat Hukum

Pengamat hukum dari Uni­versitas Trisakti, Yenti Garnasih memandang penangkapan jaksa Dwi Seno Wijanarko (DSW) oleh Komisi Pemberantasan Ko­rupsi (KPK) tergolong aneh. Pasalnya, kasus tersebut kecil dan tidak merugikan negara di atas Rp 1 miliar.

Alhasil, Yenti menilai, pe­nang­kapan jaksa DSW oleh KPK buang-buang energi saja. Sebab, dibentuknya KPK untuk mengatasi darurat korupsi yang jumlah kerugian negaranya di atas Rp 1 miliar.

“Saya heran dan prihatin ke­pa­da KPK, ke­napa mereka me­ngurus kasus jaksa yang me­me­ras jutaan rupiah saja,” katanya, kemarin.

Padahal, lanjut Yenti, ma­sya­rakat sangat mengharapkan tin­dakan luar biasa KPK terhadap kasus-kasus besar, seperti per­kara Century, Gayus Tambu­nan, dugaan suap terhadap Sek­re­ta­ris Menpora, dugaan korup­si pengadaan pesawat Merpati MA 60 dan sebagainya.

“Itu kan menjadi PR besar bagi KPK saat ini. Kenapa tidak mengurus kasus-kasus besar seperti itu saja,” tandasnya.

Namun, Yenti menam­bah­kan, belum maksimalnya kiner­ja KPK tak lepas dari sikap DPR dan Pemerintah yang ti­dak mendukung Komisi ini se­pe­nuh hati. “Jangan-jangan me­reka hanya bicara mendukung pemberantasan korupsi. Se­hing­ga, KPK seperti disetir me­reka. Ibaratnya, KPK saat ini se­perti pegang senjata, tapi tidak punya peluru. Terus mau apa,” ujarnya.

Yenti berharap ke depannya lembaga yang dikomandoi Busyro Muqoddas itu dapat menangani perkara yang lebih besar dan menyita perhatian masyarakat. “Kita tidak  ingin lembaga yang kita banggakan menjadi lemah,” ujar doktor pencucian uang ini.

Menurutnya, ketimbang me­ngurusi kasus kelas teri seperti dugaan pemerasan oleh jaksa DSW, sebaiknya KPK segera mengusut tuntas dari mana Ga­yus mendapatkan Rp 74 miliar. “Atau pecahkan itu kasus ko­rupsi Sesmenpora. Seret itu si­apa yang terlibat, saya yakin ka­sus itu sangat besar kerugian ne­garanya,” tandas dia. [RM]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Pertunjukan ‘Ada Apa dengan Srimulat’ Sukses Kocok Perut Penonton

Minggu, 28 Desember 2025 | 03:57

Peran Indonesia dalam Meredam Konflik Thailand-Kamboja

Minggu, 28 Desember 2025 | 03:33

Truk Pengangkut Keramik Alami Rem Blong Hantam Sejumlah Sepeda Motor

Minggu, 28 Desember 2025 | 03:13

Berdoa dalam Misi Kemanusiaan

Minggu, 28 Desember 2025 | 02:59

Mualem Didoakan Banyak Netizen: Calon Presiden NKRI

Minggu, 28 Desember 2025 | 02:36

TNI AL Amankan Kapal Niaga Tanpa Awak Terdampar di Kabupaten Lingga

Minggu, 28 Desember 2025 | 02:24

Proyek Melaka-Dumai untuk Rakyat atau Oligarki?

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:58

Wagub Sumbar Apresiasi Kiprah Karang Taruna Membangun Masyarakat

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:34

Kinerja Polri di Bawah Listyo Sigit Dinilai Moncer Sepanjang 2025

Minggu, 28 Desember 2025 | 01:19

Dugaan Korupsi Tambang Nikel di Sultra Mulai Tercium Kejagung

Minggu, 28 Desember 2025 | 00:54

Selengkapnya