RMOL. Setelah menuduh DPR dapat duit pulsa Rp 151 miliar per tahun, LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) berantem argumen atau adu pendapat dengan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR.
FITRA menantang Setjen DPR untuk menempuh langkah hukum setelah mengajukan somasi. BahÂkan, FITRA akan melaporkan DPR ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
FITRA menilai, tindakan SetÂjen DPR yang dipimpin Nining Indra Saleh saat melayangkan soÂmasi dan meminta FITRA menÂcaÂbut pernyataan soal uang pulsa anggota DPR Rp 14 juta per buÂlan, merupakan bentuk pemÂbungÂkaman hak asasi manusia.
“Kami sebagai warga negara memiliki hak untuk menyampaiÂkan pendaÂpat,†kata Sekjen FITRA Yuna FarÂhan di Jakarta, kemarin.
Pada Kamis (19/5) mendatang, kata Yuna, pihaknya akan melaÂporkan Sekjen DPR ke Komnas HAM. Menurut dia, sebagai waÂkil rakyat yang salah satu tugasÂnya menampung aspirasi rakyat, DPR seharusnya mau menÂdeÂngarÂkan dan menerima aspirasi, baik dalam bentuk masukan mauÂpun kritik, termasuk dari FITRA.
“Bagaimana DPR mau mengÂkritisi anggaran pemerintah kalau mereka memiliki desain anggaran yang boros,†ujarnya.
Menanggapi hal itu, Sekjen DPR Nining Indra Saleh meÂnyaÂtaÂkan akan membawa masalah ini ke ranah hukum. Sehingga, peÂnoÂlaÂkan FITRA untuk mencabut perÂnyataannya akan dibicarakan dengan Biro Hukum Setjen DPR. “Tentu ini semakin membuka pinÂÂtu bagi kami untuk membawa maÂsalah tersebut ke jalur huÂkum,†kata Nining melalui pesan singkat.
Hal senada disampaikan Kepala Biro Hukum Setjen DPR Johnson Rajagukguk. Menurut dia, Setjen DPR siap menerima tantangan FITRA yang akan meÂlaporkan masalah ini kepada KomÂnas HAM. “Silakan saja. MeÂreÂka puÂnya hak. Yang penting, meÂreka haÂrus bisa memÂperÂtangÂgung jaÂwabÂkan pernyataan itu,†katanya.
Pada 12 Mei lalu, Nining pun telah menyampaikan bahwa uang pulsa anggota DPR seperti yang dilansir FITRA itu tidak pernah ada dalam Daftar Isian PelakÂsaÂnaÂan Anggaran (DIPA) DPR. SeÂhingga, apa yang disampaikan FITRA itu, menurutnya, tidak berÂdasar, tidak etis, terlalu berleÂbiÂhan, tendensius dan sudah meÂlamÂpaui batas-batas kepatutan.
Lantaran itu, Nining men-deadÂline FITRA selama tiga hari untuk mencabut siaran persnya tersebut dan meminta maaf di meÂdia massa nasional. Kurun tiga hari itu terhitung sejak 12 Mei lalu. “Apabila dalam kurun waktu tiga hari tidak diindahkan, maka kami akan menempuh upaya huÂkum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berÂlaku,†ancamnya.
Sampai kemarin, setelah lebih dari tiga hari tenggat somasi itu, FITRA tak mau memenuhi tuntuÂtan Setjen DPR. Koordinator InÂvesÂtigasi dan Advokasi FITRA Ucok Sky Kadafi menegaskan, pihaknya tidak akan mencabut siaran pers mengenai uang pulsa anggota DPR, walaupun somasi sudah dilayangkan Setjen DPR. “Silakan saja. Kami sudah siapÂkan 100 pengacara untuk mengÂhaÂdapi somasi tersebut,†tandasnya.
Menurut Uchok, siaran pers itu tidak bertujuan untuk mengkritisi secara personal anggota DPR. Tapi, kritik terhadap kebijakan tunjangan komunikasi intensif yang terlalu mahal. Kebijakan itu dikeluarkan anggota Dewan. Dia menambahkan, dalam tunjangan itu terjadi dobel anggaran, yakni tunjangan komunikasi intensif seÂbesar Rp 14 juta per bulan dan biaya penyerapan aspirasi maÂsyaÂrakat sebesar Rp 8,9 juta per buÂlan dalam bentuk gaji.
“Yang kami inginkan supaya terjadi perbaikan, supaya uang koÂÂmunikasi ini tidak lunsum. LunÂsum di sini artinya hanya buÂtuh tanda tangan DPR, dan seteÂlah anggota DPR menerima uang komunikasi itu, mereka tidak butuh lagi yang namanya perÂtangÂgungjawaban,†urainya.
Uchok mengatakan, somasi yang diajukan Setjen DPR cacat di mata hukum. Sebab, menuÂrutÂnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, anggota DPR mempunyai kewajiban meÂnamÂpung dan menindaklanjuti aspiÂrasi dan pengaduan masyarakat. “Nah, kalau seperti ini maksudÂnya apa? Jadi tidak jelas,†ucap dia.
Terkait temuan FITRA itu, dia menyatakan, tunjangan pulsa unÂtuk anggota DPR sebesar Rp 14,1 juta per bulan memang ditulis dengan nomenklatur tunjangan komunikasi intensif dalam DIPA.
“Seperti untuk beli pulsa, itu yang kami tafsirkan. NomenÂklaÂtur itu tidak spesifik. Jadi, semau-mau anggota Dewan. Kalau BaÂdan Pemeriksa Keuangan masuk, dia tidak bisa melakukan audit,†tandasnya.
FITRA, menurut Uchok, tetap meÂnilai besaran tunjangan koÂmuÂnikasi intensif Rp 14,1 juta per buÂlan plus rata-rata Rp 20 juta daÂlam setiap kali masa reses, terlalu besar untuk setiap anggota DeÂwan. Lantaran itu, FITRA meÂminÂta salah satu item tunjangan tersebut dihapuskan. “Cukup tunÂjangan dua juta sampai tiga juta rupiah untuk pulsa anggota DeÂwan,†tandasnya.
Hasil Penelitian Semau GueNasir Jamil, Anggota Komisi III DPR Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil berpendapat, lanÂsiran LSM FITRA bahwa uang pulsa anggota Dewan Rp 151 miliar per tahun tidak bisa dikaÂtegorikan valid.
Soalnya, lanÂsiÂran FITRA diÂbuat seramÂpaÂngan. Karena itu, Nasir berÂhaÂrap FITRA tak meÂlaÂkukan peÂneÂlitian secara semÂbarangan lagi.
“Bisa dikatakan penelitian semau gue. Jangan begitu lah, saya sempat terkejut saat pertaÂma kali membaca berita itu. Kemudian setelah saya cermati, hasil penelitian mereka meÂmang tak tepat banyak yang saÂlah,†katanya.
Nasir tampaknya gerah dengan lansiran FITRA bahwa uang pulsa anggota Dewan Rp 14 juta per bulan dan Rp 20 juta setiap kali masa reses. Alhasil, ia pun mengkritik LSM pada umumnya. Menurut dia, LSM sering membohongi publik kaÂrena membeberkan hasil peneÂlitian yang belum tentu valid. “Itulah kualitas LSM kita. Itu bukti LSM kita sering memÂboÂhongi publik,†ujarnya.
Politisi PKS ini pun menilai, FITRA seakan gelap mata memberikan informasi tersebut kepada publik untuk meÂronÂtokÂkan citra DPR. “Bahasanya itu pulsa, tidak enak sekali, seakan-akan anggota DPR menggosok-gosok voucher pulsa. Saya jadi bertanya balik, motif LSM itu apa?†ucapnya.
Lantaran itu, Nasir lebih bisa meÂnerima kritik-kritik tulus dari berbagai kalangan di luar LSM. Menurut dia, yang dilonÂtarkan LSM FITRA itu layakÂnya fitnah. “Kalau tujuannya hanya untuk menyebarkan fitnah, itu tidak baik. Kalau mau tahu uang pulsa kami, seteÂngahÂnya saja dari angka tersebut tiÂdak sampai kok. Ini malah diÂsebut Rp 14 juta,†tandasnya.
Alhasil karena sering menÂdaÂpatkan kritikan pedas, Nasir meÂnganggap LSM di Indonesia telah ditunggangi oknum-okÂnum. “Ini bahaya. Kalau seÂmuÂanya kritik terus, bagaimana kami mau kerja. Begini salah, beÂgitu salah. Kalau kritikan itu masih on the track kami sangat meÂnerima kok,†katanya.
Asyik Mikirin Diri SendiriBoyamin Saiman, Koordinator LSM MAKIKoordinator LSM MaÂsyarakat Anti Korupsi IndoÂnesia (MAKI) Boyamin Saiman berharap, rencana LSM FITRA mengadu ke Komnas HAM baÂkal meredam DPR dalam mengÂhamburkan anggaran negara.
Dia pun meminta para politisi DPR lebih konsen memÂperÂjuangÂkan nasib rakyat atau konstituennya. Menurutnya, kalau anggaran pulsa itu benar, maka bisa dianggap sebagai pemborosan. Soalnya, menurut dia, sejauh ini anggota DPR sudah ditunjang dengan gaji dan fasilitas yang besar.
“Kenapa kebutuhan koÂmuÂnikasi mereka juga harus diÂbiaÂyai negara. Ini jelas tidak adil, apalagi sekarang kondisi perÂekenomian rakyat tengah terÂpuÂruk,†ujarnya.
Konsekuensi pemberian tunjangan pulsa, menurut dia, seÂharusnya dipikirkan betul manfaatnya. Soalnya, lanjut Boyamin, tidak sedikit anggota DPR yang selama ini hanya asyik memikirkan keÂpentingan dirinya atau partainya sendiri.
“Sikap-sikap seperti tidak hadir rapat, hanya duduk tanpa pernah mengkritisi kebijakan yang ada, atau mengekor suara terbanyak, masih kerap terliÂhat,†tandasnya.
Lantaran itu, tanda Boyamin, sangat tidak wajar jika mereka lantas diberi jatah tambahan angÂgaran pulsa. “Lebih baik angÂgaran itu didistribusikan untuk kepentingan lain yang manfaatnya bisa langsung diÂrasakan rakyat,†ujarnya.
Bahkan, menurut Boyamin, anggaran pulsa ini patut diÂkriÂtisi atau disomasi maÂsyarakat atau LSM. Menurut dia, hal tersebut kelak bisa dijadikan peÂlajaran untuk menata angÂgaÂran ke arah yang lebih baik, khususnya di DPR.
[RM]