Pengantar: Partisipasi publik dalam bidang sosial dan politik semakin tinggi seiring dengan meluasnya penggunaan jejaring sosial (facebook, twitter) radio dan TV, yang bisa dikendalikan dari perangkat komunikasi genggam yang mobil dan makin canggih.
Menurut ekonom senior Dr. Rizal Ramli hal itu adalah satu dari sembilan faktor objektif yang akan mendorong perubahan di Indonesia. Kesembilan faktor objektif itu disampaikan Rizal Ramli dalam pidato kebudayaan yang dibacakannya di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu lalu (4/5).
Berikut adalah kelanjutan dari pidato Dr. Rizal Ramli tersebut.
SEJARAH menunjukkan bahwa perubahan politik di banyak negara di seluruh dunia, hanya dapat terjadi jika didukung oleh faktor-faktor obyektif dan subyektif. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa secara obyektif, kondisi Indonesia sudah matang untuk perubahan seperti ditunjukkan oleh hal sebagai berikut ini:
Pertama: Mayoritas kalangan intelektual tidak lagi yang bersedia membela pemerintahan SBY-Boediono secara terbuka, kecuali intelektual yang sudah dikontrak Istana. Padahal di negara demokratis, kalangan intelektual sangat menentukan legitimasi kekuasaan. KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), yang harus diberantas sesuai amanat utama reformasi 1998, justru semakin menggurita pada masa pemerintahan SBY-Boediono ini. Bahkan dalam soal nepotisme, pemerintahan sekarang dengan cepat mengalahkan “prestasi†yang pernah dilakukan rezim Soeharto.
Kedua: Media, terutama media berjaringan internet dan media elektronik (TV dan Radio) sangat kritis dan juga skeptis terhadap ketulusan dan kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Partisipasi publik dalam bidang sosial dan politik semakin tinggi seiring dengan meluasnya penggunaan jejaring sosial (facebook, twitter) radio dan TV, yang bisa dikendalikan dari perangkat komunikasi genggam yang mobil dan makin canggih.
Ketiga: Para aktivis pro-demokrasi, pemuda dan mahasiswa di seluruh Indonesia telah sepakat menilai bahwa pemerintahan SBY-Boediono “gagal†karena tidak berpihak kepada kepentingan mayoritas rakyat, dan hanya patuh pada kepentingan global dan pemodal besar/asing. Selama satu tahun terakhir setiap kunjungan SBY-Boediono ke seluruh wilayah Indonesia selalu diikuti dengan demonstrasi mahasiswa dan pemuda yang menentang kehadiran mereka.
Keempat: Banyak tokoh politik senior Indonesia, juga para pejuang kemerdekaan dan jenderal purnawirawan TNI menganggap penggantian SBY-Boediono harus segera. Lebih cepat lebih baik, demi kepentingan nasional terutama karena alasan kepemimpinan dan karakter yang sangat lemah.
Kelima: Para tokoh agama terkemuka[1] menyatakan bahwa pemerintahan SBY-Boediono telah melakukan banyak kebohongan dan mengingkari konstitusi[2]. Ketika rakyat membutuhkan, terutama dalam hal kenyamanan beragama dan kesejahteraan, pemerintahan SBY-Boediono sering absen, tidak hadir. Rakyat dibiarkan mengatasi berbagai persoalannya sendiri.
Keenam: Kehidupan mayoritas rakyat Indonesia, yang berpendapatan sangat rendah dan banyak yang menganggur[3], semakin sulit karena kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok yang tidak terkendali. Selain karena sifat rezim yang otoriter, perubahan politik di Indonesia (1966 dan 1998), Tunisia dan Mesir (2011) terjadi terutama karena pengangguran yang sangat tinggi dan kesulitan pangan yang dihadapi mayoritas rakyat.
Ketujuh: Selain gangguan terhadap kenyamanan kehidupan beragama, ada juga gangguan terhadap hak-hak historis sebagaimana dirasakan masyarakat di Jogjakarta[4] sehingga memicu ketidakpuasan, dan menunjukkan ketidakmampuan pemerintahan SBY-Boediono meneruskan cita-cita para founding father dan melaksanakan amanat konstitusi.
Kedelapan: Liberalisasi di bidang pendidikan nyaris identik dengan kenaikan biaya pendidikan yang resmi maupun tidak resmi, baik di lembaga pendidikan swasta maupun milik negara. Akses terhadap pendidikan untuk rakyat miskin semakin terbatas, dan tingkat putus sekolah di berbagai jenjang pendidikan semakin tinggi. Walaupun ada wajib belajar 6 tahun, tingkat putus Sekolah Dasar mencapai 1,7 persen terutama karena kesulitan ekonomi. Walaupun ada wajib belajar 9 tahun dan alokasi anggaran pendidikan dinaikkan, ternyata dari 26 juta anak usia sekolah 7-12 tahun, 4,89 juta anak atau 18,4 persen terbukti tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah.
Sembilan: Pemerintahan sekarang telah mengalami krisis kepercayaan (distrust) publik, sama ketika menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Krisis kepercayaan timbul karena rakyat menyaksikan perbedaan yang sangat besar antara perkataan (janji) dan tindakan (kenyataan) pemerintah SBY-Boediono. Atau mengutip seloroh Buya Syafi’i Ma’arif, “pecah kongsi antara perkataan dengan realitas!†Paling mencolok tentu saja maraknya praktek rekayasa (metodologi) statistik dan kinerja. Sehingga secara umum, publik menilai pemerintah SBY-Boediono telah menjadi bagian dari masalah, bukan solusi. (Bersambung)
Catatan:
[1] A. Syafi’i Ma’arif (Muhammadiyah), KH Salahudin Wahid, Djohan Effendi (NU), Pendeta Andreas A Yewangoe (Ketua Persatuan Gereja Indonesia-Protestan), Din Syamsuddin (Ketum PP Muhamadiyah), Mgr Martinus D Situmorang, Romo Magnis Suseno, Romo Benny Susetyo (Konfederasi Wali Gereja Indonesia-Katolik) dan Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera serta sejumlah tokoh agama lainnya.
[2] Baca tulisan A. Syafi’i Ma’arif, “Main Api Terbakarâ€, Kompas, 7 Februari 2011, hal 6. Tulisan tersebut mempertanyakan siapa dalang yang berada di belakang kriminalisasi pimpinan KPK (Antasari, Bibit dan Chandra), Susno Duadji dan mafia pajak ala Gayus Tambunan. Jika dilihat secara kronologis, dari berbagai kasus tersebut, pemerintahan SBY-Boediono telah “cacat†sejak lahir. Berbagai kebohongan itulah yang harus ditutup dengan gunungan kebohongan lainnya. Dari skala kebohongan dan kesalahan, skandal Watergate yang memaksa Presiden AS Richard Nixon mengundurkan diri, sangat kecil artinya dibandingkan dengan air bah skandal dan kebohongan yang terjadi di negara kita, bagaikan air bah gunung Merapi (“Super Gate†of Flood of Scandals Lies). Baca: “Kasus Manipulasi DPT pemilihan Gubernur Jawa Timur (http://www.suarapembaruan.co.cc/News/2009/03/24/Nusantara/nus01.htm, http://politik.vivanews.com/news/read/36634-lima_indikasi_manipulasi_dpt_di_jawa_timur), Baca Press Release: “Pemilu 2009: Terburuk dengan Biaya Termahalâ€. Melalui Menlu Hasan Wirayuda, Pemerintahan SBY menolak menerima Pengawas Pemilu Internasional dari European Union dan Carter Center. (Dialog RR dengan pejabat Europe Union, 12 Mei 2009). Padahal Pemilu 1999 dan 2004 dihadiri oleh ratusan Pengawas Pemilu Internasional dari Negara-negara Eropa dan Carter Center
[3] Sejak pemerintahan SBY, survei pengangguran selalu dilakukan pada saat puncak masa panen, sehingga mayoritas penduduk di pedesaan bisa bekerja minimum satu jam per minggu pada saat survei. Patut dicatat, dengan bekerja satu jam per minggu pendapatan rakyat di pedesaan sama sekali tidak memadai. Di luar musim panen, kebanyakan penduduk di pedesaan kembali menganggur. Seperti halnya standar kemiskinan yang rendah, standar jam kerja (satu jam) yang digunakan BPS termasuk terendah di dunia. Telah terjadi rekayasa metodologi dalam survei-survei kemiskinan di negara kita.
[4] Menjadi pertanyaan besar, mengapa pemerintah SBY-Boediono mau mengambil resiko mempersoalkan hak-hak historis Yogyakarta? Ada pendapat yang mengatakan karena SBY ingin membangun dinasti, maka monarki dan “kekuatan spiritual†Jogjakarta harus terlebih dahulu dilumpuhkan. ''Orang bisa menafsirkan Cikeas ingin mengambil sumber spiritual-kultural DIJ demi kepentingan Cikeas. Padahal langkah Cikeas itu sangat tidak pantas sebab kesultanan DIJ berkontribusi besar dalam sejarah lahirnya NKRI dan proses perjuangan bangsa ini,'' ungkap Suparwan Zahary Gabat, seorang seniman. pengamat kebudayaan, sekaligus advokat dan mantan aktivis UGM yang dipenjara Orba. Baca: http://rimanews.com/read/20110214/16626/cikeas-diduga-mau-reguk-sumber-spiritual-kultural-yogyakarta-untuk-bentuk