ilustrasi, Gedung Pencakar Langit
ilustrasi, Gedung Pencakar Langit
RMOL.Beragam faktor dituding jadi penyebab terancamnya Kota Jakarta dari penurunan tanah (land subsidence). Salah satunya, akibat pertumbuhan gedung-gedung bertingkat yang tak ramah lingkungan.
Hal ini diungkapkan pengÂamat lingkungan Ahmad SafruÂdin. Akibat kebijakan neoÂlibeÂralisme dalam rangka pemÂbaÂngunan kota dan kerap berpikir dalam kerangka kepentingan ekoÂnomi, menurutnya, berakibat paÂda kolapsnya lingkungan JaÂkarta selama ini.
“Semua lahan koÂsong di JaÂkarta selalu diperÂtanyakan nilai keunÂtungannya dan dialihkan jadi wilayah deÂngan gedung-gedung pencakar laÂngit,†ucapÂnya, keÂpada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Safrudin mengakui, pesatnya pembangunan gedung pencakar langit di Jakarta sudah mengÂkhaÂwatirkan. Sebab, sudah seÂjak laÂma diketahui, strukÂtur taÂnah di Jakarta hampir seÂmuaÂnya terdiri dari tanah enÂdapan yang dasar pondaÂsiÂnya tidak terlalu kuat.
Selain itu, lanjutnya, berÂtamÂbahnya gedung pencakar langit berlawanan dengan penambahan ruang terbuka hijau (RTH). PaÂsalnya, banyak dampak yang terÂjadi dengan adanya bangunan berÂtingkat itu. Selain keÂhilangan RTH, juga terjadi peÂnyedotan air tanah berlebihan oleh geÂdung-gedung bertingkat.
Kemudian, adanya peÂnuÂrunan permukaan tanah. Dan yang tak kalah penÂtingnya adalah <i>air pollution trap atau pencemaran polusi udara. “Pencemaran udara yang terÂjebak karena banyaknya gedung penÂcakar langit yang berdiri dalam satu kawasan,†jelasnya.
Menurut Safrudin, hydro karÂbon di Jakarta sangat tinggi. KaÂrena itu, dia minta Pemprov DKI Jakarta kembali melaksanakan amanat Perda Nomor 2 Tahun 2005 tentang penanganan penÂceÂmaran udara.
Dia menyarankan, Pemprov DKI Jakarta tegas mengatur pendirian gedung-gedung berÂtingkat. Menurutnya, pemÂbaÂngunan gedung dengan jumlah baÂnyak tidak masalah. Asalkan, peÂngaturan letak gedung-geÂdung pencakar langit itu jelas. Sebab, yang ada saat ini pengaÂturannya terkesan tidak terurus.
Pria berkaca mata ini menilai, Pemprov DKI Jakarta terlihat tak ingin berupaya keras mengelola dan menata gedung-gedung berÂtingkat. Kalau saja ini bisa dilaÂkukan dengan baik, gedung-geÂdung tersebut bisa disebar di beÂberapa wilayah Jakarta.
“Tidak hanya terpusat dalam Segitiga Emas atau yang lebih diÂkenal dengan nama CBD (CenÂtral Business District). SeÂdangÂkan daerah lainnya kebaÂnyakan kosong,†tegasnya.
Menurut Safrudin, perlu ada jarak antara gedung yang satu dengan gedung lainnya. MisalÂnya diberi jarak tiap satu kiloÂmeter. Sementara ruang kosong tersebut bisa diisi RTH, taman kota atau bangunan-bangunan yang bukan masuk dalam kateÂgori gedung pencakar langit.
Dia menegaskan, fenoÂmena yang dialami Kota Jakarta pernah juga menimpa Hong Kong dan Guangzhou, China. Dari penjelaÂsannya, di kedua negara tersebut, untuk mengatasi perÂsoalan geÂdung-gedung berÂtingÂkat, diberÂlakukan kebijakan tegas. Yakni, di dalam kota, tidak dibolehkan ada lima gedung yang berÂdekatan. Jika itu terjadi, dua dari lima gedung itu harus diroÂbohkan.
“Dua gedung yang dirobohkan itu, wilayahnya dikonversi ke daÂlam ruang terbuka hijau. Jadi dalam konteks ini juga memÂbeÂrikan kelayakan lingkungan yang ada di kawasan tersebut,†ungÂkapÂnya. [RM]
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Senin, 29 Desember 2025 | 10:12
Senin, 29 Desember 2025 | 10:07
Senin, 29 Desember 2025 | 10:06
Senin, 29 Desember 2025 | 10:03
Senin, 29 Desember 2025 | 09:51
Senin, 29 Desember 2025 | 09:49
Senin, 29 Desember 2025 | 09:37
Senin, 29 Desember 2025 | 09:36
Senin, 29 Desember 2025 | 09:24
Senin, 29 Desember 2025 | 09:20