RMOL. Nasi sudah jadi bubur. Meski kemarin dibantah Presiden SBY, tapi publik mengingat bahwa Kejaksaan Agung pernah melansir berita yang mengatakan pengusutan kasus korupsi kepala daerah terhambat oleh Istana Negara.
Sepanjang tahun 2005-2011, penyidikan terhadap sebanyak 61 Kepala Daerah terhambat dikarenakan belum ada izin pemeriksaan dari Presiden. Jumlah itu baik saksi maupun tersangka, termasuk Gubernur Kaltim, Awang Farouk. Demikian dikatakan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Noor Rachmad di Kejaksaan Agung, Jakarta (Kamis, 7/4).
Mengenai itu, diyakini Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring, Munatsir Mustaman, permasalahan izin pemeriksaan yang belum turun bukan terkendala di presiden.
"Ada pihak-pihak yang menjadi bagian dari administrasi permohonan izin pemeriksaan itu," sebutnya kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Rabu, 13/4).
Perbedaan pendapat antara SBY dan petinggi Kejaksaan Agung merupakan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi yang sedang digembar-gemborkan pemerintah.
Lebih jauh lagi, patut diduga bahwa di lingkungan kantor SBY banyak mafia hukum dan broker penutupan kasus korupsi yang beroperasi sehingga surat pengajuan izin pemeriksaan terhadap 61 kepala daerah bisa hilang dari meja presiden. Diduga kuat pula, modus operandi jual beli kasus di lingkungan kantor SBY adalah lewat sumbangan ke kas partai tertentu, atau untuk pribadi oknum-oknum yang berada di lingkaran SBY sendiri.
"Dan biasanya kepala kepala daerah tersebut di jadikan ATM oleh oknum-oknum yang di lingkaran SBY," tudingnya.
Bahkan, imbuh Munatsir, jika SBY tidak mau menindak lanjuti kasus hilangnya izin pemeriksaan terhadap 61 kepala daerah yang diduga melakukan korupsi, maka data situs WikiLeaks yang kemudian dilansir harian di Australia, yang menuduh SBY dan Ibu Negara sebagai broker dalam proyek-proyek besar dan kasus kasus korupsi, akan dibenarkan publik.
[ald]