RMOL. Presiden SBY menegaskan bahwa aliran investasi sangat diperlukan dan pertumbuhan ekonomi amat diperlukan karena tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi riil masyarakat. Namun, pernyataan SBY itu mendapat kritik dari kalangan pengamat dan mantan menteri keuangan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada, Revrisond Baswir, mengatakan, dari indikator-indikator termudah, seperti kesenjangan antara Produk Domestik Bruto dengan Produk Nasional Bruto dan indeks gini, didapatkan kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi makro tidak terintegrasi dengan pertumbuhan ekonomi rakyat sehari-hari.
Sedangkan Mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier, mengatakan, pertumbuhan ekonomi sekitar 6-7 persen adalah akibat dari kebijakan neoliberal yang dianut pemerintahan SBY sejak periode pertama. Tapi, janji pembangunan infrastruktur yang dijanjikan sejak tujuh tahun lalu tak pernah terealisasi. Fuad menyebut SBY tengah membela diri atas kegagalan maupun salah arahnya pembangunan ekonomi.
Namun, Analis Statistik Sosial Badan Pusat Statistik, Jousairi Hasbullah, menanggapi, bahwa akan terkesan sekadar menebar kebencian jika dengan gegabah dan tanpa data mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi era SBY hampir tidak membawa kemajuan kesejahteraan rakyat dan hanya memperhatikan kepentingan orang kaya dan orang asing.
"Untuk menjernihkannya dibutuhkan ukuran-ukuran yang dapat dipercaya dan berlaku serta diakui secara internasional. Salah satu ukuran paling populer yang digunakan di semua negara untuk mengukur perkembangan kesejahteraan lapisan menengah bawah adalah Angka Kematian Bayi atau AKB (
Infant Mortality Rates)," ujar Jousairi Hasbullah kepada
Rakyat Merdeka Online (Rabu petang, 6/4), menanggapi kritik pada pemerintah.
Menurutnya, ukuran tersebut disepakati dunia karena merefleksikan keberhasilan atau kegagalan pembangunan di bidang kesehatan, sanitasi, perbaikan gizi dan kesejahteraan masyarakat. Penurunan AKB lebih merefleksikan peningkatan kesejahteraan di lapisan menengah bawah karena AKB pada masyarakat lapisan atas sudah relatif stabil dan sudah sulit untuk diturunkan. AKB adalah indikator kemajuan kesejahteraan masyarakat lapisan menengah bawah.
"Indonesia telah berhasil menurunkan Angka Kematian Bayi-nya dari 29 kematian menjadi hanya 25 kematian per 1000 kelahiran hidup dari tahun 2006 ke tahun 2010. Hanya dalam waktu empat tahun, AKB turun sebesar empat poin," tegasnya.
Ia mengimbuhkan, negara-negara maju Eropa,membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk menurunkan sebesar 4 poin Angka Kematian Bayi tersebut.
[ald]