RMOL. Nama buronan Anggoro Widjojo sudah resmi masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) polisi dan KPK dunia internasional.
Lantaran itu, KPK merasa tiÂdak perlu memperpanjang perÂminÂtaan status cegah atas tersangÂka kasus dugaan korupsi proyek sisÂtem komunikasi radio kehuÂtaÂnan (SKRT) ini kepada Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
“Otomatis, Anggoro Widjojo suÂdah resmi menjadi buÂronan peÂnegak hukum internaÂsional,†kata Kepala Humas Komisi PembÂeÂranÂtasan Korupsi Johan Budi Sapto Prabowo kepada Rakyat Merdeka.
Meski mengaku menemui kenÂdala untuk membawa pulang AngÂgoro dari Singapura, Johan meÂnyatakan, koordinasi KPK deÂngan Interpol dan sederet orgÂaniÂsasi intelijen dunia tidak berhenti sampai di sini. “Kami terus berÂtukar informasi seputar buronan tersebut,†kata dia.
Dengan koordinasi atau kerÂjaÂsama tersebut, KPK senantiasa meÂnerima informasi mengenai perÂgerakan Anggoro yang saat ini berada di Singapura. “Sama seÂkali tak ada usaha mengÂhenÂtiÂkan penÂcaÂrian, apalagi mengÂheÂnÂtiÂkan usaha untuk membawa puÂlang yang bersangkutan ke Tanah Air,†ucapnya.
Namun, lagi-lagi Johan berÂalaÂsan, langkah Komisi PemÂbeÂranÂtasan Korupsi melakukan serangÂkaian upaya membawa pulang AngÂgoro terhadang kendala beÂlum adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.
Dengan keterangannya itu, JoÂhan mengklaim, langkah KPK yang tidak meminta perÂpanÂjaÂngan cekal terhadap Anggoro untuk masuk ke dalam negeri, tidak salah. “Status masuk Daftar Pencarian Orang itu lebih tinggi tingkatannya dibanding cekal,†kata dia.
Hal senada disampaikan KeÂpala Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Maroloan J BarimÂbing. Dia menyatakan, status ceÂgah dan tangkal terhadap AngÂgoro berakhir pada Agustus lalu. LanÂtaran itu, ia menyatakan, ImigÂrasi perlu mendapat konfirÂmasi ulang apakah KPK akan memperpanjang status cekal Anggoro atau tidak.
Soalnya, lanjut Maroloan, Ditjen Imigrasi tidak bisa secara langÂsung memperpanjang status cekal terhadap seseorang. KetenÂtuan mengenai pelaksanaan cekal diatur dalam Undang-Undang NoÂmor 9 tahun 1992 tentang Imigrasi.
Sedangkan status DPO, kata dia, bisa ditetapkan oleh lembaga penegak hukum. Artinya, kepoliÂsian maupun KPK apabila merasa perlu menetapkan status DPO terhadap orang yang dicari, tidak perlu mengajukan permohonan kepada Ditjen Imigrasi. Dalam kasus ini, KPK bisa langsung berÂkoordinasi dengan aparat di neÂgara lain untuk melaksanakan staÂtus DPO yang ditetapkannya.
Kembali pada penanganan kasus ini, Johan Budi menyaÂtaÂkan, belakangan ini tim KPK juga sudah beberapa kali mendatangi Singapura untuk memastikan keberadaan
Anggoro. Namun, Johan belum bersedia menyampaikan apa saja yang diperoleh tim KPK dalam meÂnuntaskan kasus yang melibatÂkan bos PT Direktur Masaro Radiokom ini.
Sementara itu, pengacara AngÂgoÂro, Bonaran Situmeang meÂngaÂku, belakangan ini sudah tiÂdak pernah melakukan komuÂniÂkaÂsi dengan kliennya tersebut. “Saya sedang fokus dengan kaÂsusÂnya Anggodo,†kata Bonaran.
Ia juga mengaku, tidak tahu apakah tim KPK sudah sempat bertemu dengan kliennya di Singapura atau belum.
Berakhirnya status cekal juga berlaku terhadap kolega Anggoro seperti Direktur Keuangan PT MaÂsaro David Angkawijaya, DiÂrut PT Masaro Putranevo AleÂxanÂder Prayogo dan adik Anggoro, Anggodo Widjoyo yang saat ini sedang menjalani hukuman kaÂrena mencoba menyuap pimÂpinan KPK.
Gayus Tambunan Bisa Dibawa PulangM Taslim, Anggota Komisi III DPRMembawa pulang Anggoro Widjojo dari Singapura buÂkanÂlah hal yang tidak mungkin. GaÂyus Halomoan Partahanan TamÂÂbunan saja bisa dibawa puÂlang ke Tanah Air dari SingaÂpura. Hal tersebut disampaikan anggota Komisi III DPR M Taslim.
Menurut politisi PAN ini, diÂbuÂtuhkan peran pemerintah daÂlam menangani kasus buronnya para koruptor ke Singapura. BuÂkan hanya KPK. “Harus ada langÂkah konkret pemerintah unÂtuk menyesuaikan pemaÂhaÂman dan membangun kerÂjaÂsama eksÂtradisi dengan SingaÂpura,†katanya.
Selama langkah tersebut belum dilakukan, kemungkinan membawa pulang para koruptor dari Singapuran ke Tanah Air, sangatlah kecil.
Taslim juga menyayangkan, kenapa KPK yang memiliki keÂlengkapan superbodi, tidak ceÂpat menahan Anggoro. Dia memÂbandingkan, kenapa keÂpoÂlisian dan Satgas PembeÂraÂnÂtaÂsan Mafia Hukum bisa memÂÂbawa pulang Gayus dari SiÂngaÂpura, sedangkan KPK tidak bisa membawa pulang Anggoro.
“Walau beda konteksnya, tapi langkah itu bisa ditinÂdakÂlanjuti dalam menangani buroÂnan yang kabur ke negara lain,†imbuhnya.
Dengan adanya perÂbanÂdiÂngan penanganan buronan teÂrsebut, ia berharap ke depannya nanti, ada terobosan dalam mengatasi berbagai kendala.
“Masalah seperti Anggoro ini sudah seringkali muncul. Tapi kita seolah-olah selalu berada pada posisi yang kalah. Kita tiÂdak mampu mengatasi proÂblema yang sebenarnya itu-itu saja, persoalan perjanjian eksÂtradisi,†katanya.
Selain soal ekstradisi, Taslim juga mengatakan, masih ada kesan KPK tebang pilih dalam menangani kasus korupsi. “Ini mesti disikapi secara serius agar kesan adanya tebang pilih oleh KPK tidak muncul,†tanÂdasnya.
KPK Senasib Dengan TPKAndri Gunawan, Koordinator LSM MaPPISehebat apapun keweÂnaÂngan KPK dalam menangani kaÂsus korupsi, tetap harus diduÂkung piranti hukum yang kuat. Tanpa dukungan ekstra aparat negara lainnya, upaya KPK membawa pulang tersangka serta mengembalikan aset yang dilarikan koruptor ke negara lain, bakal menemui kendala.
Menurut Koordinator LSM MaÂsyarakat Pemantau PeraÂdiÂlan Indonesia (MaPPI) Andri GuÂnawan, kendala dalam memÂbawa pulang koruptor dari neÂgaÂra lain yang tidak punya kerÂjaÂsama ekstradisi dengan IndoÂnesia, menjadi hal yang mengÂganggu penanggulangan kasus korupsi selama ini.
“DibuÂtuhÂkan kerjasama ekstra seluruh aparat negara dalam meninÂdakÂlanjuti hal ini,†katanya.
Dia berharap, nasib pengenÂtaÂsan kasus korupsi yang ditaÂngani KPK selama ini tidak seÂperti yang dialami Tim PemÂburu Koruptor (TPK) sebÂeÂlumÂnya. “TPK menemui hambatan, bahkan kegagalan saat meÂnaÂngani buronan yang berÂsemÂbunyi di negara lain yang tidak punya perjanjian ekstradisi dengan Indonesia,†ujarnya.
Kendala yang seringkali diteÂmui ini, lanjut dia, mesti ditinÂdakÂlanjuti dengan lobi komÂpreÂhensif. Salah satu cara adalah melakukan pendekatan melalui forum internasional di PerÂserikatan Bangsa Bangsa (PBB) agar aturan tentang ekstradisi ini ditinjau kembali. “DiperÂluÂkan keseriusan dan upaya eksÂtra,†imbuhnya.
Sebab, selama ratifikasi atas perjanjian ekstradisi ini belum mencapai kesepakatan antar negara, sekeras apapun langkah KPK dan lembaga penegak hukum lain dalam membawa pulang serta menarik aset yang dilarikan para buronan tersebut bakal menemui kendala.
“Ini kelemahan yang paling dominan di kita. Ini menjadi peÂkerjaan rumah yang harus menÂjadi perhatian utama. KasiÂhan aparat penegak hukum kita yang selalu gagal melakÂsaÂnaÂkan tugasnya karena terkendala hal ini,†tegasnya.
Dia menambahkan, langkah pendekatan personal yang dilaÂkuÂkan selama ini pun belum bisa diharapkan optimal. SoalÂnya, keputusan para buronan kasus korupsi untuk memÂpeÂrÂtanggungjawabkan perbuatÂanÂnya dengan pulang ke Tanah Air, relatif kecil kemungÂkinanÂnya. “Bahkan bisa dibilang tidak ada.â€
[RM]