RMOL. Kerusuhan-kerusuhan bermotif agama memang tak lepas dari persoalan di antara aparat intelijen sendiri. Tetapi, ada problem krusial lain yaitu tugas pembinaan teritorial yang dimandatkan pada Pemerintah Daerah tidak berjalan.
"Aparat intelijen itu ada dimana saja? Pertama di militer paling bawah, kita sebut saja Kasi Intel di tingkat Kodim, Korem sampai Kodam. Kemudian para intelijen di tingkat Polres sampai Polda," jelas Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, kepada Rakyat Merdeka Online, Senin (14/2).
Pada era Orde Baru, ada intelijen khusus untuk ketertiban masyarakat yang ditangani polisi. Lalu ada tugas intelijen yang ditangani TNI yang saat itu sangat superior. Yang ditanganinya mulai dari perkelahian warga sampai dengan makar. TNI bisa memasuki wilayah masyarakat untuk tidak saja mencegah radikalisme atau kerusuhan tetapi juga melakukan penyadaran atau pembinaan masyarakat.
Menurut purnawirawan Mayjen TNI ini, sisi negatif kewenangan intelijen yang demikian, demokrasi tidak berjalan karena gerakan demokrasi tiarap semua. Dan sisi positifnya kegiatan teroris tidak berani muncul, perkelahian antar kampung tidak ada dan radikalisme tidak hidup.
"Pada era reformasi, siapa yang melaksanakan tugas pembinaan masyarakat atau pembinaan teritorial? Misalnya, ada yang mau radikal, bukan cegah saja tapi menyadarkan. Sekarang harusnya ada di pemerintah daerah. Tugas pembinaan wilayah itu sudah diserahkan pada pemerintah daerah, Camat, Pamong, Bupati dan itu menurut UU pembinaan wilayah tugasnya di Pemda," tegasnya.
[ald]