RMOL. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan anggaran perjalanan dinas alias dana pelesirannya senilai Rp 5,22 miliar yang dinilai tidak didukung dokumen pertanggungjawaban hanyalah kesalahpahaman akibat tidak baiknya laporan keuangan di daerah.
Pernyataan tersebut sebagai klarifikasi terhadap tudingan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hasil auditnya pada semester I Tahun 2010 yang menyebutkan dana jumbo itu masuk dalam kategori potensi kasus kerugian negara.
“Adanya temuan itu terjadi kaÂrena laporan yang disampaikan Kementerian Keuangan, dalam hal ini KPKN (Kantor PerÂbenÂdaharaan dan Kas Negara) keÂpada BPK berbeda dengan kita. KaÂlau mereka melaporkan secara online kepada Kemenkeu, kita secara manual,†kata Inspektorat JenÂdral Kemenkes, Yudhi PraÂyudha Ishak Djuarsa kepada Rakyat Merdeka, saat ditemui dikantornya, di Jakarta, kemarin.
Diakui Yudhi, sampai saat ini sistem administrasi satuan kerja Kemenkes di daerah-daerah memang belum baik. Pelaporan keÂuangannya banyak yang masih menggunakan cara manual.
Biasanya bagian keuangan dan inventarisasi aset juga dilakukan orang yang berbeda. Akibatnya, memÂbutuhkan waktu yang relatif lama untuk membuat laporan keÂuangan yang sesuai dengan stanÂdar laporan keuangan pemerintah.
“Makanya butuh waktu untuk menyesuaikan laporan keuangan kita dengan hasil laporan dari seluruh daerah,†terangnya.
Dikatakan, untuk mencegah supaya hal ini tidak terulang, telah dilakukan evaluasi laporan keuangan di daerah-daerah.
Misalnya, pada Agustus lalu Kemenkes sudah melakukan penÂdampingan pembuatan laporan keÂuangan di 10 provinsi dengan bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Selanjutnya pada bulan Oktober 2010, Kemenkes meÂmanggil sekitar 300 unit dari berbagai daerah di 32 provinsi, guna meÂlakukan evaluasi, dan di pengÂhujung November, melaÂkukan penÂdampingan ulang.
“Setiap unit melakukan hal yang sama terhadap setiap UPT (Unit Pelaksana Teknis) di daerah. Kita minta bantuan BPKP unÂtuk back up laporan keuangan di daerah untuk memperbaiki situasi ini. Kalau soal hasil, lihat saÂja nanti. Yang penting kita upaÂyakan secara maksimal,†tuturnya.
Untuk diketahui dalam hasil auditnya pada semester I Tahun 2010, BPK mengungkapkan di Kementerian Kesehatan, terdapat perjalanan dinas senilai Rp 5,22 miliar belum didukung dengan dokumen pertanggungjawaban, karena masih dalam proses pemilahan bukti-bukti dan pengeluaran senilai Rp 44,70 juta diragukan kebenarannya.
Hal tersebut terjadi karena pejabat yang bertanggungjawab lalai dalam melakukan pengaÂmaÂnan atas pengelolaan aset negara, kuÂrang menaati dan memahami ketentuan yang berlaku, dan lemah dalam melakukan pengÂawasan dan pengendalian.
Untuk itu BPK mereÂkoÂmenÂdasikan kepada Kemenkes agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada pejabat yang bertanggung jawab, melakukan pengamanan aset, dan mengupayakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kerugian negara.
Pihak BPKP yang dikonfirmasi soal bantuan pendampingan terhadap laporan keuangan dari unit-unit Kemenkes di daerah, membenarkan hal itu.
Pendampingan dilakukan karena memang sudah menjadi keÂwajiban dari BPKP untuk memÂbantu penyusunan laporan keuangan setiap Kementerian/Lembaga.
“BPKP membantu Kemenkes dalam penyusunan laporan keÂuangan. Sudah menjadi tugas kita untuk memastikan supaya semua laporan keuangan Kementerian/Lembaga sesuai dengan standar laporan keuangan yang ditetapkan pemerintah,†kata Staf Hubungan Masyarakat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Pri Wibowo.
Pri menjelaskan, penÂdamÂpingan yang dimaksud adalah pemberian konsultasi atau bimÂbingan dalam memasukkan data keuangan dan aset, dengan mengÂgunakan program aplikasi komÂputer akuntasi.
Hal itu dilakukan supaya setiap laporan keuangan selain dapat memenuhi tenggat waktu pemÂberian laporan, juga bisa meÂmeÂnuhi standar laporan keuangan yang ditetapkan pemerintah.
“Laporan keuangan itu harus diserahkan kepada BPK beberapa bulan setelah tutup tahun. Kalau tidak pakai cara ini, saya rasa tarÂget itu tidak akan bisa tercapai,†katanya.
Lebih lanjut Pri menjelaskan, biasanya untuk laporan keuangan di daerah, BPKP memberikan software yang mereka miliki. Biasanya BPKP mengajari cara penggunaan aplikasi tersebut, dan diberikan secara cuma-cuma terhadap semua instansi yang membutuhkan.
Menurutnya, untuk mengajari pembuatan laporan keuangan dengan menggunakan aplikasi tersebut bisa membutuhkan waktu hingga 4 sampai 5 bulan, tergantung dari kondisi instansi yang bersangÂkutan. Namun khusus untuk KeÂmenÂterian/Lembaga biasanya mengÂgunakan program aplikasi komÂputer akuntansi dari Kemenkeu.
“Setahu saya biasanya untuk laporan keuangan Kementerian/Lembaga menggunakan aplikasi dari Kemenkeu. Jadi kebanyakan kita hanya mendampingi mereka dalam menjalankannya saja. Kalau mereka ada masalah, mereka baru meminta bantuan kita,†pungkasnya.
“Perlu Diselidiki Secara Seriusâ€Gandung Pardiman, Anggota Komisi IX DPRAnggota Komisi IX DPR, Gandung Pardiman tidak bisa menerima penjelasan Kemenkes terhadap dana pelesiran sebesar Rp 5, 22 miliar yang masuk dalam potensi kerugian negara, karena adanya perbedaan sistem pelaporan keuangan.
“Kalau cuma satu-dua kali, itu bisa disebut ketidaksengajaan. Tapi kalau sampai berulang kali, itu kan seperti ada kesengajaan. Lihat saja laporan BPK yang sebelumnya. Di Kemenkes banyak sekali yang
disclaimer,†katanya, kemarin.
Anggota Fraksi Golkar ini berharap, BPK mau segera mempertajam hasil temuan tersebut untuk menemukan apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian. “Perlu diselidiki secara serius. Kalau sudah terÂlalu sering, jelas potensi keÂrugiannya jadi besar,†ujarnya.
Dikatakannya, setelah reses KoÂmisi IX DPR akan segera meÂnyiapkan agenda RDP (RaÂpat DeÂngar Pendapat) dengan Kemenkes. Ia berjanji, saat bertemu MenÂteri Kesehatan akan meminta penjelasan hal tersebut. “Saya akan mempertanyakan juga kasus ini,†tegasnya.
“Jangan Hanya Jago Di Atas Kertasâ€
Arif Nur Alam, Direktur Eksekutif IBCDirektur Eksekutif IndoneÂsia Budger Center (IBC) Arif Nur Alam menyarankan, agar BPK perlu mengambil langkah nyata untuk menyikapi tindak lanjut hasil auditnya terhadap dana perjalanan dinas Kemenkes.
“BPK jangan hanya jago di atas kertas. Kalau tidak ada tindakan nyatanya, percuma,†katanya, kemarin.
Dikatakan, sejak dulu kinerja Kemenkes memang selalu dinilai buruk. Untuk itu perlu dilakukan pembenahan secara menyeluruh.
“Kemenkes butuh pembeÂnaÂhan. Sudah banyak kasus penyaÂlahgunaan wewenang yang terjadi di sana. Sebut saja kasus koÂrupsi pengadaan Alkes Rontgen,†tuturnya.
Guna mendorong pembeÂnahan tersebut, menurut Arif, BPK bisa kembali menelusuri hasil auditnya itu untuk meÂnemukan apakah disebabkan kesalahan administrasi, atau ada tindak pidana.
Kalau ada kemungkinan tindak pidana, maka BPK harus segera berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyeÂlidikan intensif.
“Jangan gara-gara setiap instansi memiliki hak untuk mengklarifikasi, dan menyeÂlesaikan masalah ini secara intern lalu semua kasus bisa diselesaikan secara adminisÂtratif,†paparnya.
Solusi kedua, KPK harus mau bertindak lebih aktif dalam menyikapi masalah itu dengan proaktif. “Audit BPK ini kan dilakukan secara ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan. Jadi tidak ada salahnya kalau KPK lebih aktif. Biar sinergi antara BPK dan KPK menjadi lebih baik, sehingga bisa menimbulkan efek jera, dan rasa takut terhadap para pelakunya,†paparnya.
[RM]