RMOL. Setelah melalui penelitian, diyakini makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Husain atau yang terkenal dengan Mbah Priok berada di Taman Pemakaman Umum (TPU) Semper, Jakarta Utara. Penelitian dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
MUI juga meluruskan dsari sisi keagamaan terkait makam Mbah Priok di TPU Koja, Jakarta UtaÂra, yang menimbulkan kerusuhÂan keÂtika akan ditertibkan oleh SaÂtuan Polisi Pamong Praja (SatÂpol PP) pada 14 April lalu.
“Ada yang perlu diluruskan terkait sisi keagamaan karena meÂngalami kekeliruan. Tetapi saya tidak bisa detil menyamÂpaiÂkanÂnya karena sangat senÂsitif,†kata salah seorang anggota tim peneÂliti MUI Roby Nurhadi, ketika menyamÂpaikan hasil penelitian ke GuÂbernur Fauzi Bowo di BaÂlaikota DKI Jakarta, akhir pekan lalu.
Dia menjelaskan, MUI yakin, makam Mbah Priok telah berada di TPU Semper, karena pada 1927 sudah dipindahkan dari TPU Dobo. Dia mengklaim, Mbah PriÂok lahir pada abad ke-18, bukan abad ke-17 seperti kaÂbar yang berÂedar.
Roby juga menÂjamin, data yang disajikan bisa diÂpertangÂgungÂÂjawabÂkan, lantaran peneÂlitian yang diÂlaÂkukan mengÂgandeng seÂjaraÂwan seperti Alwi Shihab dan JJ Rizal serta para pakar dari UI, terÂmaÂsuk ahli dari Rumah Sakit Cipto MaÂngunkuÂsumo (RSCM).
“Sehingga data tersebut bisa dipertanggungjawabkan. KaÂrena hasil penelitian ini, bukan berÂdasarkan meja-meja rapat atau berÂdasarkan perasaan. Tapi meÂlaÂlui riset,†tegasnya.
Ketua MUI DKI Jakarta Ma’ruf Amien menyatakan, HaÂbib Hasan al Hadad atau Mbah Priok bukan seorang da’i atau muballigh seperti yang diketahui publik. Ia menjelaskan, Mbak Priok adalah seorang
tawaÂdhu atau orang saleh yang bekerja seÂbagai pelaut di kapal dagang Sayyid Syech bin Agil Madihij. Habib Hasan atau Mbah Priok juga bukan penyebar Islam di JaÂkarta, karena hal itu tidak seÂsuai dengan fakta sejarah.
Kajian MUI juga menunjukÂkan, pengkaitan toponomi TanÂjung Priok dengan Habib Hasan tidak benar secara historis. Ia menÂÂjelaskan, nama Tanjung PriÂok dikaitkan dengan nama Aki TiÂrem, pemimpin daerah WaraÂkas yang dikenal sebagai pemÂbuat priok. Sementara kata “tanÂjung†merujuk pada kontur taÂnah beruÂpa tanjung.
“Bantahan ketidakbenaran peÂngaitan berdasarkan pada fakta bahwa pada 1877, pemerintah kolonial mulai melaksanakan proyek pelabuhan Haven TanÂjung Priok. Sedangkan saat itu Habib Hasan baru berumur tiga tahun dan bermukim di PalemÂbang,†terang Ma’ruf Amien.
Kekeliruan sejarah ini dinilai MUI menjadi sumber kekeliruÂan pemahaman publik yang menjadi stimulan munculnya solidaritas sosial-keagamaan. MUI memanÂdang pengkultusan berlebiÂhan terhadap makam Habib HaÂsan juga bertentangan dengan syariah Islam.
“Perlu dilakukan pelurusan peÂmahaman agama Islam di kaÂlangan pengelola maÂkam, muÂbalÂligh, dan peziarah,†tegasnya.
Terkait hasil peneliÂtian ini, PeÂmerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan muÂlai melaÂkuÂkan sosialisasi kepada masÂyaÂÂrakat luas. “Hasil penelitiÂan suÂdah saya terima,†kata GuÂberÂnur Fauzi Bowo.
Menanggapi hasil penelitian yang dilakukan MUI DKI, KeÂtua Forum Pemuda Betawi Edi Gusyani berharap, hasil ini bisa menciptakan kondisi masyaÂrakat yang damai. Ia tak ingin adanya pihak-pihak yang kemÂbali memÂbuat keruh terkait perÂsoalan maÂkam Mbah Priok.
“Hindari mencari siaÂpa yang beÂnar dan siapa yang salah. BeriÂkan kapaÂsitas seluas-luasnya keÂpada yang puÂÂnya wewenang,†kata Edi keÂpada Rakyat Merdeka.
Dia melanjutkan, apa yang sudah dikeluarkan oleh MUI harus dihargai dan dihormati. Menurutnya, MUI ibarat pemimÂpin dimana kebijakan yang dikeÂluarkan harus diikuti.
“Jangan meragukan apa yang sudah diterbitkan MUI. Apa yang sudah dikeluarkan oleh lembaga resmi itu harus dihorÂmati, karena banyak pakar dan ahli agama serta ahli sejarah di sana,†pungkas Edi.
Pengungkapan Data Sejarah Itu PentingPengungkapan data sejaÂrah sangat penting. Tak bisa diÂtampik, sejarah bisa diungkap untuk kepentingan apapun. Tentu dari situ masyarakat bisa melihat dan menilai pembebeÂran fakta itu berpihak kepada siapa. Hal ini dinyatakan peÂngÂamat budaya dan sejarah dari UI BamÂÂbang Wibawarta.
“Karena itu, faktor sejarah saÂngat penÂting ketika kita ingin mengÂungkap sesuatu,†katanya kepaÂda
Rakyat Merdeka.Dia mencontohkan seperti peristiwa pemberontakan 1965, masyarakat bisa melihat berbaÂgai versi. Dari sini, menurutÂnya, bisa dinilai, siapa yang memÂpuÂnyai berbagai kepentiÂngan terÂkait sejarah tersebut. Tentu saja sesuatu itu bisa diÂtungÂgangi berÂbagai pihak. KeÂmudian untuk mengungkap seÂjarah dan diangÂgap benar, bisa juga ada kepenÂtingan di situ.
Untuk itu, Bambang melanÂjutkan, sah-sah saja MUI DKI untuk mengungkapkan versi lain atau pun sejarah yang meÂnurut mereka adalah kebenaran.
Ia tidak menjamin jika seÂteÂlah ini akan muncul versi berÂbeda, terkait persoalan sengÂketa tanah areal makam Mbah Priok, yang menjadi latar beÂlakang bentrokan Satpol PP dengan warga.
“Data-data itu sangat berÂpeÂngaruh terhadap proses kebenaÂran dalam sebuah sejarah dan bagaimana kita mengÂinterÂpreÂtasikan sejarah itu,†ujarnya.
Apapun penelitian yang suÂdah dilakukan, Bambang berÂhaÂrap agar kerusuhan yang terÂjadi di kawasan makam Mbah Priok jangan terulang kembali. MenuÂrutnya, makam Mbah Priok meÂrupakan simbol, daÂlam arti, itu bisa menjadi simÂbol yang bisa digunakan untuk berÂbagai keÂpenÂtingan.
“Simbol ini tidak haÂnya berÂhubungan pada persoalÂan ritual manusia dengan TuÂhanÂnya, tapi juga bisa digunaÂkan untuk keÂpentingan sosial,†ujarnya.
Selain itu, ia tak ingin pengÂungÂkapan sejarah ini dilakukan hanya untuk mendapatkan peÂniÂlaian siapa yang benar atau siaÂpa yang salah. Katanya, masÂÂyaÂrakat harus tahu, sejarah memiÂliki berbagai macam suÂdut panÂdang. Tidak bisa meÂmandang dari satu sudut saja.
“Kita harus arif melihat sejaÂrah. Kita harus melihat latar beÂlakang, data-data yang diungÂkapkan. SehingÂga kita tahu siaÂpa yang menuÂliskan sejarah terÂsebut, karena itu menjadi saÂngat penting,†tuturnya.
Walikota Jakarta Utara BamÂbang Soegiyono berjanji akan menyebarkan hasil penelitian ini kepada ahli waris, ulama, majelis taklim, keÂlompok peÂngaÂjian dan tokoh masyarakat di kawasan Jakarta Utara. KataÂnya, sosialisasi meliÂbatkan langsung MUI DKI, diÂfasiliÂtasi Pemkot Jakarta Utara.
“Dengan begitu semua paÂham fakta yang sebenarnya dari sisi makam, sejarah dan keÂagaÂmaan. Kemudian peristiwa ini merupakan yang pertama dan terakhir,†tegas Bambang.
Metode sosialisasi, lanjut Bambang, akan dilakuÂkan deÂngan membagikan buku-buku hasil penelitian ke kelomÂpok-kelompok masyarakat dan juga akan dibuatkan
leaflet atau selÂebaran kepada seluruh maÂsyaÂrakat Jakarta Utara.
[RM]